Syarat syahnya amal dan diterimanya amal adalah dengan berilmu, alias melakukan upaya untuk mendapatkan ilmu dengan cara syah sesuai dalil, yaitu belajar mengaji atau berguru. Berguru pada seorang ahli agama yang memang bersandar pada sanad yang jelas dan sahih. Al isnad minad dien... berguru ilmu agama dari orang yg memang kompeten untuk itu. bayangkan bila ada seorang manusia yang mengklaim dirinya dokter tetapi ternyata dia belajar sendiri ilmu kedokteran dari buku buku karangan atau yang dijual di toko, apakah kita akan mempercayainya sebagai dokter?
Beramal adalah melaksanakan ibadah dan atau menjelaskan agama Allah. Ini merupakan lapang amal sholih dan Maka wajib atas hamba-hamba Allah untuk takut kepadaNya agar tidak berbicara kecuali dengan ilmu dan hujjah, atau berdasar dalil dalil yang syah, sunah Nabi dan firman Allah. agar mereka semua mengetahui bahwa hanya Allah-lah yang berhak membuat syariat untuk hambaNya. Tidak ada syariat kecuali syariat Allah di muka bumi ini. Tidak berhak seseorang menghalalkan sesuatu kecuali yang dihalalkan Allah dan juga tidak berhak mengharamkan sesuatu kecuali yang diharamkan Allah.
Firman Allah Ta'ala:
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah".(An Nahl: 116).
Termasuk kesalahan besar apabila seseorang mengatakan sesuatu itu halal, padahal dia tidak tahu hukum Allah tentang itu. Atau mengatakan sesungguhnya ini haram, padahal dia belum tahu hukum Allah tentang perkara itu. Atau mengatakan ini wajib, itu sunah, ini dari Islam, padahal dia masih samar dalam masalah tersebut. Hingga mungkin akan sebaliknya, apa yang dia katakan wajib, sebenarnya di sisi Allah tidak wajib. Dan yang dikatakan dari Islam, ternyata bid'ah, dan yang dikatakan bid'ah, justru itulah Islam. Jadinya kacau. Maka berbahaya sekali seseorang yang beramal tanpa ilmu, di mana dia akan sesat dan menyesatkan orang banyak, dan secara tidak langsung atau langsung dia telah menjadikan bagi Allah sekutu (dalam membuat syariat Islam). Dan hukumnya Neraka.
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah".(An Nahl: 116).
Termasuk kesalahan besar apabila seseorang mengatakan sesuatu itu halal, padahal dia tidak tahu hukum Allah tentang itu. Atau mengatakan sesungguhnya ini haram, padahal dia belum tahu hukum Allah tentang perkara itu. Atau mengatakan ini wajib, itu sunah, ini dari Islam, padahal dia masih samar dalam masalah tersebut. Hingga mungkin akan sebaliknya, apa yang dia katakan wajib, sebenarnya di sisi Allah tidak wajib. Dan yang dikatakan dari Islam, ternyata bid'ah, dan yang dikatakan bid'ah, justru itulah Islam. Jadinya kacau. Maka berbahaya sekali seseorang yang beramal tanpa ilmu, di mana dia akan sesat dan menyesatkan orang banyak, dan secara tidak langsung atau langsung dia telah menjadikan bagi Allah sekutu (dalam membuat syariat Islam). Dan hukumnya Neraka.
Firman Allah:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah?" (Asy Syura: 21).
Apakah mereka tidak tahu, di saat memberi fatwa yang menyesatkan orang dengan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah, bahwa dosanya akan kembali kepada mereka dari orang-orang yang tersesat dengan fatwanya yang tanpa ilmu tersebut ? Karena besarnya bahaya amal tanpa ilmu, maka Allah mensejajarkan perbuatan berkata/beramal atas nama Allah tanpa ilmu- itu, dengan syirik. Firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (Al A'raaf: 33).
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah?" (Asy Syura: 21).
Apakah mereka tidak tahu, di saat memberi fatwa yang menyesatkan orang dengan menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah, bahwa dosanya akan kembali kepada mereka dari orang-orang yang tersesat dengan fatwanya yang tanpa ilmu tersebut ? Karena besarnya bahaya amal tanpa ilmu, maka Allah mensejajarkan perbuatan berkata/beramal atas nama Allah tanpa ilmu- itu, dengan syirik. Firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (Al A'raaf: 33).
Sesungguhnya ada sebagian kaum muslimin yang karena keberaniannya, ketidakshalihan dan tidak adanya malu kepada Allah dan tidak takut kepadaNya, mengatakan sesuatu yang jelas haram, dia katakan makruh. Atau hal yang jelas wajib dia katakan sunnah. Entah karena kebodohannya atau karena kesengajaannya. Atau membuat keragu- raguan kepada kaum muslimin mengenai syariat Allah.
Sikap orang yang berakal dan beriman, takut kepada Allah dan mengagungkanNya dalam mengatakan sesuatu yang belum diketahui adalah dengan ucapan "Saya tidak tahu, akan saya tanyakan kepada yang lain". Sikap itu merupakan akhlaq orang yang sempurna akalnya, dan dengan demikian ia sendiri telah bisa mengukur dan mengakui seberapa kemampuannya.
Coba kita perhatikan sikap Rasulullah, seorang hamba Allah yang paling tahu tentang agama Allah- di saat beliau ditanya oleh para shahabat tentang roh dan tentang hari Kiamat. Apa jawaban beliau ? Beliau menunggu jawaban dari Allah yang berupa wahyu, dan tidak langsung dijawab dengan tanpa ilmu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Firman Allah Ta'ala:
"Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: "Bilakah terjadinya ?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku, tidak seorangpun yang bisa menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia". (Al A'raaf: 187).
Coba kita perhatikan sikap Rasulullah, seorang hamba Allah yang paling tahu tentang agama Allah- di saat beliau ditanya oleh para shahabat tentang roh dan tentang hari Kiamat. Apa jawaban beliau ? Beliau menunggu jawaban dari Allah yang berupa wahyu, dan tidak langsung dijawab dengan tanpa ilmu dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Firman Allah Ta'ala:
"Mereka menanyakan kepadamu tentang Kiamat: "Bilakah terjadinya ?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabbku, tidak seorangpun yang bisa menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia". (Al A'raaf: 187).
Untuk lebih jelasnya perhatikan perkataan Ibnu Mas'ud berikut ini: "Wahai para manusia, barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu yang dia ketahui, maka katakanlah (jelaskan). Dan barangsiapa yang tidak mengetahui tentang ilmu itu, maka supaya mengatakan, "Allah yang lebih tahu (Allahu a'lam)". Sesungguhnya sebagian dari kehati-hatian orang yang berilmu adalah mengatakan sesuatu yang belum diketahui dengan perkataan : "Allah yang lebih tahu".