Buat para orang tua dan calon orang tua. This is such a great article :
Buat para ortu....
Untuk mu, yang mengharamkan kata "Jangan", adakah engkau telah melupakan kitab-mu (Al-Qur'an).
😢
"Al-Qur'an itu kuno, Bu, konservatif, out of dated!
Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur'an masih
menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur'an masih memakai ratusan kata 'jangan' di
saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?", katanya sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.
😢
Pernahkan Bapak dan Ibu sekalian membayangkan, kalau suatu saat nanti, pernyataan dan sikap itu terjadi pada anak kita?
😢
Itu mungkin saja terjadi, jika kita terus menerus mendidiknya dengan pola
pendidikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum.
Mungkin saja anak kita menjadi demikian, karena sejak dini ia tidak pernah dilarang atau tidak mengenal kata 'jangan'.
Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa (Freud dan kawan-kawan) kemudian disusul behaviorisme (Pavlov dan kawan-kawan), isu humanisme dalam mendidik anak terus disuarakan.
Mereka membuang kata "Jangan" dalam proses pendidikan anak, dengan alasan itu melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri anak pada posisi bersalah, dan menutup pintu dialog.
Dasarnya adalah menghargai humanisme.
Tidak perlu ditutupi bahwa parenting telah menjadi barang dagangan yang
laris dijual.
Ada begitu banyak lembaga psikologi terapan, dari yang professional sampai yang amatiran dengan trainer yang baru lulus pelatihan kemarin sore.
Promosi begitu gencar, rayuan begitu indah dan penampilan mereka begitu
memukau.
Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata "jangan" ketika berinteraksi dengan anak-anak.
Para orang tua muda terkagum-kagum bertepuk tangan.
Sebagian tampak berjilbab, bahkan jilbab besar.
Sampai di sini [mungkin] juga sepertinya tidak ada yang salah.
Tetapi pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat Islam.
Pertanyaan itu adalah "Adakah kita telah melupakan Kitab yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas?
Adakah kita lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur'an
menggunakan kata "jangan"?
Salah satu contoh terbaik adalah catatan Kitabullah tentang Luqman Al-Hakim, Surah Luqman ayat 12 sampai 19.
Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang Dia beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya ("walaqod ataina luqmanal hikmah.." dst)
Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya "Wahai anakku, JANGANLAH engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar".
Sampai pada ayat 19, ada 4 kata "laa" (jangan) yang disampakan oleh Luqman kepada anaknya, yaitu "laa tusyrik billah", "fa laa tuthi'humaa", "Wa laa tusha'ir khaddaka linnaasi", dan "wa laa tamsyi fil ardli maraha".
Luqman tidak perlu mengganti kata "jangan menyekutukan Allah" dengan (misalnya) "esakanlah Allah".
Walau demikian, "Laa" yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan
yang bersifat anjuran.
Adakah pribadi psikolog atau pakar patenting pencetus aneka teori 'modern' yang melebihi kemuliaan Luqman? Tidak ada.
Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya.
Dan tidak ada satupun nama psikolog, yang kita temukan dalam kitabullah itu.
Membuang kata "jangan" justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar.
Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai.
Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya.
Dan kelak ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.
Anak-anak hasil didikan tanpa "jangan" berisiko tidak punya "sense of syariah" dan keterikatan hukum.
Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata "itu pilihan mereka, saya tidak demikian".
Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi "mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya".
Itulah sebenarnya paham liberal, yang 'humanis', toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.
Masihkah anda yakin dan mempraktikkan teori parenting Barat itu, agar anak-anak anda tumbuh menjadi generasi liberal?
Atau kembali kepada pendidikan anak yg berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW?
***
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the XL network.