Showing posts with label Kumpulan Cerita Penyegar. Show all posts
Showing posts with label Kumpulan Cerita Penyegar. Show all posts

Sunday, 10 March 2013

10 Tanda Wanita Selingkuh

Perselingkuhan dapat dilakukan oleh siapapun, baik pria maupun wanita. Biasanya kaum wanita mendeteksi perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya, dari intuisi kewanitaannya. Dan kebanyakan intuisi tersebut 70% dapat dibuktikan. Hal ini wajar terjadi sebab wanita memiliki kelebihan dari segi intuisi dan sisi emosional. 

Sedangkan bagi kaum pria peluang intuisinya hanya 50:50 sehingga tidak dapat dengan mudah melihat tanda-tanda perselingkuhan pasangannya. Maka bagi kaum pria harus lebih cerdas dan teliti untuk membaca isyarat perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Sebab biasanya tipe wanita suka selingkuh pintar menyembunyikan kebohongan dan menunjukkan sikap seolah-olah masih setia.

Banyak tanda atau ciri-ciri dari wanita selingkuh yang dapat kita ketahui. Berikut merupakan 10 tanda-tanda tipe wanita yang senang berselingkuh :
  1. Wanita selingkuh biasanya bersikap lebih dingin kepada pasangannya. Frekuensi komunikasi dengan harmonis sudah jarang terjadi dan sering terjadi perselisihan. Wanita tersebut biasanya cemburu yang tidak jelas atau sikap yang menyudutkan Anda bahkan sering menuduh Anda berprilaku selingkuh.
  2. Wanita yang suka selingkuh biasanya sangat memperhatikan penampilannya. Mereka biasanya melakukan banyak perubahan dalam penampilannya dengan tiba-tiba ingin mengikuti latihan fisik di pusat kebugaran atau gym, ingin terlihat muda, menurunkan berat badan dan lebih sering melakukan perawatan kecantikan dari pada biasanya, atau selalu up to date terhadap fashion. Tanda ini biasanya indikasi bahwa mereka ingin mengesankan seseorang.
  3. Wanita yang berselingkuh biasanya kurang memiliki minat melakukan seks dengan pasangan. Sebab fantasi seksnya telah mengharapkan orang lain.
  4. Wanita yang berselingkuh biasanya memiliki teman misterius. Teman tersebut diklaim sebagai rekan kerja, teman lama, teman dari sahabat atau teman yang lain. Wanita selingkuh tidak pernah menceritakan secara detail tentang teman barunya yang misterius tersebut. Kehadiran teman misterius ini biasanya dibarengi dengan adanya teman-teman baru. Sebab sangat mudah menyembunyikan status kekasih gelap jika perselingkuhan dilakukan dalam lingkup pertemanan.
  5. Tipe wanita selingkuh biasanya menyembunyikan status pada jaringan sosial, atau ketika melakukan interaksi dengan orang lain. Misalnya dengan menyembunyikan status pada jaringan sosial di internet seperti facebook, twitter, my space dan yang lainnya, sehingga memberikan peluang bagi orang lain untuk melakukan interaksi emosional terhadap dirinya.
  6. Wanita selingkuh biasanya overprotective terhadap perangkat media komunikasinya, seperti email, handphone, atau blackberrynya. Terutama dalam penggunaan handphone, sering menghapus semua teks pesan masuk atau keluar, panggilan masuk atau keluar, dan tidak pernah terpisahkan dari keberadaan handphone. Bila malam ahri saat pasangannya ada di rumah, dia akan mematikan atau menyembunyikan handphonenya. Hal tersebut dilakukan untuk menyembunyikan perselingkuhan yang terjadi.
  7. Tingginya frekuensi penggunaan internet juga dapat menjadi tanda tipe wanita selingkuh. Pembahasan konteks ini harus disesuaikan dengan rata-rata kebutuhan akan internet pada sebelumnya. Sebab perselingkuhan melalui perangkat fasilitas dunia maya sangat mudah dilakukan dan tersembunyi dengan aman. Menurut penelitian, hal ini sering terjadi ketika wanita berselingkuh dengan pria yang telah menikah atau berkomitmen.
  8. Wanita berselingkuh sering berbohong. Kebohongan sering dilakukan pada jadwal kerja atau tentang lokasi keberadaannya. Biasanya ketika ketahuan berbohong, akan melakukan pengakuan yang diikuti dengan cerita bohong lainnya.
  9. Tanda lainnya
    * Mulai cuek

    * Mudah marah

    * Suka Menyembunyikan HP

    * Tidak Meperhatikan Penampilan Anda

    * Mendapat Hobby Baru

    * Semakin Sering Bertengkar

    * Tingkah lakunya membuat Anda merasa ada sesuatu yang tidak beres.

    * Suka Mengomentari Orang Lain (Lawan Jenisnya).

Thursday, 3 January 2013

Cerita Dari Segelas Air


"Stress Management"

Pada Saat Kuliah Tentang Manajemen Stress, Stephen Covey Mengangkat Segelas Air Dan Bertanya Kepada Para Siswanya,

"Seberapa Berat Menurut Anda, Kira-Kira Segelas Air Ini..?"

Para Siswa Menjawab Mulai Dari 200 Gram Sampai 500 Gram.

"Ini Bukanlah Masalah Berat Absolutnya. Tapi Tergantung Berapa Lama Anda Memegangnya..." Kata Covey

"Jika Saya Memegangnya Selama 1 Menit.. Tidak Ada Masalah.."

"Jika Saya Memegangnya Selama 1 Jam.. Lengan Kanan Saya Akan Sakit.."

"Dan Jika Saya Memegangnya Selama 1 Hari Penuh.. Mungkin Anda Harus Memanggilkan Ambulans Untuk Saya.."

"Beratnya Sebenarnya Sama.. Tapi Semakin Lama Saya Memegangnya, Maka Bebannya Akan Semakin Berat.."

"Jika Kita Membawa Beban Kita Terus Menerus, Lambat Laun Kita Tidak Akan Mampu Membawanya Lagi.."

"Beban Itu Akan Meningkat Beratnya.." Lanjut Covey

”Apa Yang Harus Kita Lakukan Adalah Meletakkan Gelas Tersebut... Istirahat Sejenak Sebelum Mengangkatnya Lagi.."

"Kita Harus Meninggalkan Beban Kita Secara Periodik, Agar Kita Dapat Lebih Segar Dan Mampu Membawanya Lagi.."

"Jadi Sebelum Pulang Ke Rumah Dari Pekerjaan Hari Ini, Tinggalkan Beban Pekerjaan.."

"Jangan Bawa Pulang.. Beban Itu Dapat Diambil Lagi Besok.."

"Apapun Beban Yang Ada Di Pundak Anda Hari Ini, Coba Tinggalkan Sejenak Jika Bisa.."

"Setelah Beristirahat, Nanti Dapat Diambil Lagi.."

"Hidup Ini Singkat.. Jadi Cobalah Menikmatinya Dan Memanfaatkannya..!"

"Hal Terindah Dan Terbaik Di Dunia Ini Tak Dapat Dilihat Atau Disentuh, Tapi Dapat Dirasakan Jauh Di Dalam Hati Kita..!



Kasih Sayang Ayah


Kisah Ayah Dan Botol Acar"

Berikut adalah kisah yang sungguh luar biasa yang menggambarkan kasih sayang, cinta dan perjuangan seorang ayah kepada anaknya. Sebuah kisah yang menunjukan sesuatu yang sangat berharga tentang impian, tekad, teladan seorang ayah, disiplin dan pantang menyerah demi kehidupan anaknya yang lebih baik.

Setahuku, botol acar besar itu selalu ada di lantai di samping lemari di kamar orangtuaku. Sebelum tidur, Ayah selalu mengosongkan kantong celananya lalu memasukkan semua uang recehnya ke dalam botol itu. Sebagai anak kecil, aku senang mendengar gemerincing koin yang dijatuhkan ke dalam botol itu. Bunyi gemerincingnya nyaring jika botol itu baru terisi sedikit. Nada gemerincingnya menjadi rendah ketika isinya semakin penuh. Aku suka jongkok di lantai di depan botol itu, mengagumi keping-keping perak dan tembaga yang berkilauan seperti harta karun bajak laut ketika sinar matahari menembus jendela kamar tidur.

Jika isinya sudah penuh, Ayah menuangkan koin-koin itu ke meja dapur, menghitung jumlahnya sebelum membawanya ke Bank untuk membayar premi polis asuransi pendidikan. Membawa keping-keping koin itu ke Bank selalu merupakan peristiwa besar. Koin-koin itu ditata rapi di dalam kotak kardus dan diletakkan di antara aku dan ayah di atas sepeda motor tuanya. Setiap kali kami pergi ke Bank, Ayah memandangku dengan penuh harap. “Karena koin-koin ini kau kelak tidak perlu bekerja mengayuh becak seperti ayahmu ini. Nasibmu akan lebih baik daripada nasib ayahmu.”

Setiap kali menyorongkan kotak kardus berisi koin itu ke kasir Bank, Ayah selalu tersenyum bangga. “Ini uang kuliah anakku. Dia takkan bekerja mengayuh becak seumur hidup seperti aku.”

Pulang dari Bank, kami selalu merayakan peristiwa itu dengan membeli es krim. Aku selalu memilih es krim cokelat. Ayah memilih yang vanila. Setelah menerima kembalian dari penjual es krim, Ayah selalu menunjukkan beberapa keping koin kembalian itu kepadaku. “Sampai di rumah, kita isi botol itu lagi.”

Ayah selalu menyuruhku memasukkan koin-koin pertama ke dalam botol yang masih kosong. Ketika koin-koin itu jatuh bergemerincing nyaring, kami saling berpandangan sambil tersenyum. “Kau akan bisa kuliah dengan koin dua ratus, lima ratus, dan seribu rupiah ini,” katanya. “Kau pasti bisa kuliah. Insya Allah.”

Tahun demi tahun berlalu. Aku akhirnya memang berhasil kuliah dan lulus dari universitas dan mendapat pekerjaan di kota lain. Pernah, waktu mengunjungi orang tuaku, aku masuk ke kamar tidur mereka. Kulihat botol acar itu tak ada lagi. Botol acar itu sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah di pindahkan entah ke mana. Leherku serasa tercekat ketika mataku memandang lantai di samping lemari tempat botol acar itu biasa diletakkan.

Ayahku bukan orang yang banyak bicara, dia tidak pernah menceramahi aku tentang pentingnya tekad yang kuat, ketekunan, dan keyakinan. Bagiku, botol acar itu telah mengajarkan nilai-nilai itu dengan lebih nyata daripada kata-kata indah.

Setelah menikah, kuceritakan kepada Fatimah, istriku, betapa pentingnya peran botol acar yang tampaknya sepele itu dalam hidupku. Bagiku, botol acar itu melambangkan betapa besarnya cinta Ayah padaku. Dalam keadaan keuangan sesulit apa pun, setiap malam Ayah selalu mengisi botol acar itu dengan koin. Bahkan di kala ayah sakit sehingga tidak mampu mengayuh becak, dan Ibu terpaksa hanya menyajikan tempe goreng dengan sambal bawang selama berminggu-minggu, satu keping pun tak pernah diambil dari botol acar itu. Sebaliknya, sambil memandangku dari seberang meja dan mencolekkan sepotong tempe ke sambal, Ayah semakin meneguhkan tekadnya untuk mencarikan jalan keluar bagiku. “Kalau kau sudah tamat kuliah,” katanya dengan mata berkilat-kilat, “Kau tak perlu makan hanya dengan sambal bawang dan tempe seperti ini kecuali jika kau memang mau.”

Liburan akhir tahun pertama setelah lahirnya putri kami Fitri, kami habiskan di rumah orangtuaku. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berdampingan di sofa, bergantian memandang cucu pertama mereka. Fitri menagis lirih. Kemudian Fatimah mengambilnya dari pelukan Ayah. “Mungkin popoknya basah,” kata Fatimah, lalu di bawanya Fitri ke kamar tidur orangtuaku untuk di ganti popoknya.

Fatimah kembali ke ruang keluarga dengan mata berkaca-kaca. Dia meletakkan Fitri ke pangkuan Ayah, lalu menggandeng tanganku dan tanpa berkata apa-apa mengajakku ke kamar. “Lihat,” katanya lembut, matanya memandang lantai di samping lemari. Aku terkejut. Di lantai, seakan tidak pernah disingkirkan, berdiri botol acar yang sudah tua itu. Di dalamnya ada beberapa keping koin.Aku mendekati botol itu, merogoh saku celanaku, dan mengeluarkan segenggam koin. Dengan perasaan haru, kumasukkan koin-koin itu ke dalam botol. Aku mengangkat kepala dan melihat Ayah. Dia menggendong Fitri dan tanpa suara telah masuk ke kamar. Kami berpandangan. Aku tahu, Ayah juga merasakan keharuan yang sama. Kami tak kuasa berkata-kata.

Segera temui ayahmu, cium tangannya yang mulai keriput dengan penuh kasih sayang, dan peluklah ia seolah tak ingin kau melepaskannya dan katakan dengan sepenuh hati, “Terimakasih wahai ayahku tercinta…. Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu. Sampai kutertidur bagai masa kecil dulu. Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku. Dengan apa aku membalas. Wahai ayahku tersayang…. (elhooda)

Sungguh kebiasaan baik terbentuk dari awal.

Syukur dimulai dari hal kecil








"10 Ribu Rupiah Membuat Anda Mengerti Cara Bersyukur"

Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai membayar, tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan.
Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, "Beri kami sedekah, Bu!"

Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah. Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala tahu jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan, ia lalu menguncupkan jari-jarinya mengarah ke mulutnya. Kemudian pengemis itu memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke mulutnya, seolah ia ingin berkata, "Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami
tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan!"

Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, "Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!"
Ironisnya meski tidak menambahkan sedekahnya, istri dan putrinya Budiman malah menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang tanggal gajian, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekening dia.

Di depan ATM, Ia masukkan kartu ke dalam mesin. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncul beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening.
Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Uang itu Kemudian ia lipat kecil untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah.

Saat sang wanita pengemis melihat nilai uang yang diterima, betapa girangnya dia. Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: "Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!"

Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, "Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!"
Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.

Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. "Ada apa Pak?" Istrinya bertanya.

Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: "Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!"

Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman mengatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis. Namun Budiman kemudian melanjutkan kalimatnya:
"Bu..., aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa!
Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah.

Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah."

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba. Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang kerap lalai atas segala nikmat-Mu!

Sumber: Internet
 

Otak Bayi





Kemampuan- Kemampuan Menakjubkan Dari Otak Bayi

Apa yang dapat dilakukan oleh bayi mungkin dianggap hal yang sepele bagi orang dewasa karena bayi belum dapat mengimbangi percakapan orang dewasa. Tetapi sebenarnya bayi dapat membuktikan kepandaiannya. Setelah para ilmuwan menemukan cara untuk mengungkap kemampuan bayi, ternyata bayi memiliki banyak kemampuan otak yang cukup cerdas dan menakjubkan.

Kira-kira kemampuan menakjubkan apa saja yang ada pada otak bayi?

Berikut 9 kemampuan menakjubkan dari otak bayi seperti dikutip dari LiveScience, Rabu (14/3/2012) antara lain:

1. Mengetahui siapa yang memiliki kedudukan lebih tinggi

Dari usia 10 bulan, bayi mengetahui dan mengerti hal-hal yang cukup benar. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Science menunjukkan bayi mengerti hirarki (urutan kedudukan) sosial dan mengetahui ukuran yang dapat menentukan siapa yang bertanggung jawab.

2. Mengerti ekspresi emosi anjing

Bahkan sebelum bayi dapat mengatakan kata 'mama' dan 'papa', bayi telah dapat menguraikan dan mengerti emosi anjing. Sebuah studi pada tahun 2009 menemukan bayi usia 6 bulan telah dapat menunjukkan bahasa tubuh yang sesuai.

"Emosi adalah salah satu hal pertama yang dapat ditangkap bayi dalam dunia sosial," kata pemimpin peneliti Ross Flom, seorang profesor psikologi di Brigham Young University, Utah.

Hasil studi tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Developmental Psychology.

3. Memahami suasana hati dan emosi

Sementara bayi masih belum dapat berbicara, ia mungkin tahu kapan orang dewasa sedang merasa terpuruk. Sekitar usia 5 bulan, bayi dapat secara akurat memilih sebuah lagu yang dapat membangkitkan emosi positif.

Hal tersebut berdasarkan hasil sebuah penelitian yang telah diterbitkan pada tahun 2010 dalam jurnal Neuron. Pada usia 9 bulan, bayi juga dapat mengidentifikasi suara sedih dari beberapa lagu.

4. Dapat menari mengikuti irama musik

Berbicara tentang musik, bayi tidak dapat jika tidak bereaksi ketika mendengar musik tersebut. Tidak hanya telinga bayi yang dapat mengikuti ketukan, bayi sebenarnya dapat menari. Hal tersebut berdasarkan hasil sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010.

Bayi dapat melakukan gerakan tari dengan tangan, kaki dan badannya sesuai dengan irama atau alunan musik. Kemampuan menari adalah bawaan pada manusia, meskipun para peneliti tidak yakin mengapa hal tersebut dapat berevolusi.

Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences.

5. Meniru tindakan orang lain

Sebuah studi pada tahun 2009 mengungkapkan ketika bayi berusia 9 bulan yang melihat orang dewasa sebagai sebuah objek, maka daerah motor di otak bayi akan diaktifkan seolah-olah benar-benar melakukannya.

Para peneliti studi menunjukkan bahwa neuron cermin yang banyak berperan. Bayi memiliki kemampuan prediktif yang dapat membantunya menanggapi tindakan orang lain. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal Biology Letters.

6. Belajar dengan cepat saat tidur

Menurut sebuah studi pada tahun 2010, bayi rupanya bisa belajar bahkan saat tidur. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti yang melibatkan 26 bayi yang sedang tidur.

"Seperti bayi yang baru lahir menghabiskan sebagian besar waktu mereka tidur, kemampuan tersebut mungkin penting untuk dapat cepat beradaptasi dengan dunia di sekitarnya dan membantu untuk memastikan kelangsungan hidup bayi," kata peneliti.

Hasil studi tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences.

7. Bayi dapat mengerti suara yang ditujukan pada mereka

Dalam sebuah studi pada tahun 2006, bayi yang berusia 7 bulan dapat mengerti suara atau bunyi yang ditujukan pada mereka. Hasil studi tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Proceeding of National Academy of Sciences.

8. Dapat membedakan dua bahasa yang berbeda

Pada penelitian pada tahun 2007 yang telah diterbitkan dalam jurnal Science menunjukkan bahwa, bayi usia 4-6 bulan dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk melihat orang yang berbicara kepadanya mengucapkan kalimat dalam bahasa yang berbeda.

Hal tersebut menunjukkan bahwa bayi dapat membedakan antara kedua bahasa tersebut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi mulai memahami tata bahasa, pengolahan tata bahasa dan kata-kata secara bersamaan pada usia 15 bulan.

"Bayi yang baru lahir dapat dikatakan cerdas dalam bahasa karena bayi memiliki kemampuan dengan mudah belajar salah satu bahasa di dunia," kata psikolog George Hollich dari Purdue University.

9. Dapat menilai karakter orang cukup baik

Mengelompokkan orang lain sebagai bermanfaat atau berbahaya sangat penting ketika memilih teman. Dan kemampuan tersebut dapat mulai dimiliki sejak bayi.

Kemampuan menilai karakter dapat menjadi langkah pertama bayi dalam pembentukan moral. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian yang telah diterbitkan pada tahun 2007 di jurnal Nature.(del/ir)

Sumber: Detikhealth.com
 

Michael Jordan



Michael Jordan, Kegagalan Pada Masa Kecilnya Mendorongnya Menjadi Atlet Yang Mendominasi Sepanjang Masa

Ketika penonton melihat Michael Jordan bermain, mereka tidak hanya melihat seorang pria yang memberi definisi baru pada pencapaian di bidang atletik saat ini, tetapi juga seorang lawan yang tangguh bagi orang yang menganggap setiap permainan adalah adu tekad. Ketika ia dikenal sebagai pencatat rekor kemenangan yang tidak terduga, kegagalanlah yang memacu Michael untuk mengusahakan yang terbaik: "Saya tahu ketakutan adalah hambatan setiap orang, tetapi bagi saya hal itu hanyalah sebuah ilusi..... Kegagalan selalu membuat saya berusaha lebih keras pada kesempatan berikutnya."

Setelah ditolak oleh tim basket SMA, Michael Jordan menjadi peristiwa yang memalukan itu sebagai "Motivator" dalam kariernya.

Michael memotivasi dirinya dengan melihat kembali pada kegagalan tersebut: "Kapan pun saya berhasil dan merasa lelah serta berpikir untuk berhenti, saya menutup mata dan menatap daftar yang tidak mencamtumkan nama saya di ruang penyimpanan barang, dan biasanya cara itu membuat saya kembali bersemangat."

Pada kenyataannya, untuk seorang pria yang menjadi pemain paling terkenal dan diakui dalam sejarah permainan basket dengan memenangkan kejuaraan NBA enam kali, piala MPV lima kali, 12 kali permainan All Star, gelar NCAA, dan dua medali emas Olimpiade. Michael yakin ia dapat berhasil karena kesediaannya untuk gagal.

"Saya bersedia menerima kegagalan. Setiap orang pernah gagal. Tetapi saya tidak mau jika tidak mencoba."

Cerita Bos Beras



Ada kisah dari sebuah desa di Propinsi Anhui, Tiongkok. Seorang bayi yang belum lama lahir, kedua orang tuanya mendadak meninggal. Oleh sebab itu, ia tumbuh dewasa di lingkungan yang serba sulit Mempertahankan hidup di lingkungan seperti itu benar-benar sulit, apalagi masih memikirkan tentang sekolah, sungguh tidak mungkin. Jadi ia, tidak mengenal tulisan sama sekali, bahkan tidak ada yang peduli akan marga dan namanya.

Ia setiap hari bekerja keras demi sesuap nasi. Ia berkata kepada majikannya, "Asalkan aku mendapat beras, aku sudah puas!" Karena hal inilah, mereka memberikannya nama panggilan sebagai "Bos Beras".

Waktu berjalan dengan cepat. Dari masa remajanya menginjak usia setengah baya sampai mempunyai anak, tetap saja setiap hari mencari nafkah untuk memenuhi makan sehari-hari keluarganya. Rumahnya berada di tepi gunung, maka ia sering pergi membelah kayu bakar untuk dijual. Inilah cara mendapatkan beras dari hasil penjualannya.

Bos beras ini sangatlah jujur dan sama sekali tidak mengerti yang namanya menawar. Kayu bakar yang ia dapatkan sangatlah sering dengan kualitas yang baik. Karena itu, banyak sekali orang yang ingin membeli kayu bakarnya. Suatu hari, setelah ia pergi membelah kayu bakar dan hendak ke kota untuk menjualnya, tiba-tiba di perjalanan ia bertemu dengan orang kaya yang sangat kikir. Ia tahu kayu bakar yang dijual Bos Beras itu bagus dan kering, sehngga di pertengahan jalan, ia menghentikan langkah Bos Beras dan berkata, "Aku ingin membeli kayu bakarmu."

Bos beras senang sekali, tetapi orang kaya yang tamak itu berkata, "Tunggu sebentar! Mari kita kompromi dulu, berapa harga sepikul kayu bakar ini?"

"Harga sepikul kayu bakar ini biasanya pembeli memberiku 300sen."

"Rumahku dekat sekali. Kamu juga tidak perlu berjalan begitu jauh dan tidak perlu memboroskan tenagamu ke kota. Jadi saya rasa kamu jual padaku 100 sen saja."

Bos beras mencoba menghitung menggunakan jari tangannya. Perbedaan 3 dengan 1 sangatlah jauh. Begini sama sekali tidak cukup untuk membeli beras. Lalu orang kaya itu berkata lagi, "Kalau begitu 200 sen saja!"

Bos beras tetap menghitung dan merasa tidak cukup untuk membeli beras, kemudian ia memberikan jawaban, "Saya tidak jadi jual. Lebih baik saya berjalan lebih jauh sedikit lagi."

"Sudahlah, jangan berjalan begitu jauh. Jual saja kepadaku 250 sen," lanjut orang kaya itu.

Bos Beras berpikir keras. Jika saya tetap bertahan, bukanlah telah memboroskan waktuku saja. Kemudian ia menjawab, "Baiklah! Baiklah! Jual ke kamu saja."

Melihat kejujuran Bos Beras, orang kaya itu memintanya memikul kayu bakar ke rumah. Setelah selesai menimbun semua kayu bakar itu, orang kaya itu bertanya, "Siapakah sebenarnya namamu?"

"Aku tidak memiliki nama," Jawabnya dengan polos.

Karena orang kaya yang kikir itu tidak berhasil mendapatkan harga yang ia inginkan, ia merasa kesal dan berkata, "Kamu tidak memiliki nama sungguh sangat aneh. Bagaimana jika saya yang memberikanmu nama?"

"Bagus sekali," jawab Bos Beras. "Hidup setua ini, akhirnya ada orang yang mau membantuku memberikan nama. Sungguh saya ingin berterima kasih padamu."

"Kalau begitu, saya berikan nama 'Tinja' padamu."

"Kedengarannya bagus sekali. Sebelumnya orang lain selalu memanggilku Bos Beras, sekarang menjadi Tinja. Bagus sekali."

Orang kaya yang kikir itu sengaja bertanya kembali, "Tinja, kamu ada berapa Ayahanda?"

"Apa itu ayahanda?" tanya Bos Beras.

Si kaya menghinanya karena tidak mengenal tulisan, sehingga sengaja mempermainkan dengan menjawab, "Ayahanda adalah anakmu."

Ia akhirnya sadar dan menjawab, "Oh, rupanya Ayahanda ialah anakku. Coba saya hitung dulu. Saya memiliki 10 Ayahanda."

Bos Beras ialah orang yang bersemangat. Oleh karena itu, ia kembali bertanya, "Kalau begitu berapa banyak Ayahandamu?"

Mendengar hal ini, raut wajah si kaya mulai berubah dan menjawab, "Aneh, mengapa kamu bertanya berapa banyak Ayahandaku? Ayahandaku telah meninggal."

"Oh, kasihan sekali! Semua Ayahandamu telah meninggal. Saya memiliki begitu banyak putra, bagaimana jika saya memberikan kepadamu 1 atau 2 orang untuk dijadikan Ayahandamu?"

"Kurang ajar. Berani sekali kamu memberikan anakmu untuk dijadikan Ayahandaku?" Jawab si kaya dengan marah.

Melihat kemarahan si kaya, ia merasa aneh dan berkata, "Anda membeli kayu bakarku dan juga memberikanku nama. Sementara saya berniat baik memberikan anakku untuk dijadikan Ayahandamu. Lalu mengapa anda begitu emosi? Melihat Anda seperti ini, sepertinya ingin sekali 'memakan' tinja saya ini saja."

Apa itu Tinja? Tinja adalah "kotoran". Orang kaya itu marah dan kesal sehingga mengambil tongkat ingin memukulnya. Bos Beras itu merasa aneh dan berpikir, "Ada apa dengan orang ini? Mengapa marah besar seperti ini tanpa sebab? Tanpa pikir panjang, ia tidak menghiraukannya dan mengambil tongkat pemikul pulang ke rumah dengan bebasnya.

Orang yang tidak menaruh pemikiran akan perkataan orang meski orang lain memakinya, ia juga tidak akan mengerti bahwa dirinya dimaki dengan sebutan "kotoran" dan di dalam hatinya masih berasa bersyukur. Menyindirnya dengan ejekan berapa banyak "Ayahanda" pun, ia juga tidak merasakan apa pun dan masih berniat baik ingin memberikan anaknya untuk dijadikan Ayahanda bagi orang lain. Orang lain ingin mengambil untung darinya, ia malah tidak merasa dirugikan. Ini juga merupakan suatu filosofi, yaitu "filosofi orang bodoh". Dalam kehidupan, kita juga seharusnya mempelajari filosofi ini.

Dikutip dari buku Dharma Master Cheng Yen Bercerita 

Anak dan Pohon Apel



Suatu masa dahulu, terdapat sebatang pohon apel yang amat besar.Seorang anak lelaki begitu gemar bermain-main di sekitar pohon apel ini setiap hari. Dia memanjat pohon tersebut, memetik serta memakan apel sepuas-puas hatinya, dan adakalanya dia beristirahat lalu terlelap di perdu pohon apel tersebut. Anak lelaki tersebut begitu menyayangi tempat permainannya. Pohon apel itu
juga menyukai anak tersebut.

Masa itu pun berlalu…

Anak lelaki itu sudah besar dan menjadi seorang remaja. Dia tidak lagi menghabiskan masanya setiap hari bermain di sekitar pohon apel tersebut. Namun begitu, suatu hari dia datang kepada pohon apel tersebut dengan wajah yang sedih.

“Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu.

“Aku bukan lagi kanak-kanak, aku tidak lagi gemar bermain dengan engkau,” jawab remaja itu. “Aku mau permainan. Aku perlu uang untuk membelinya,” tambah remaja itu dengan nada yang sedih.

Lalu pohon apel itu berkata, “Kalau begitu, petiklah apel-apel yang ada padaku. Juallah untuk mendapatkan uang. Dengan itu, kau dapat membeli permainan yang kau inginkan.”Remaja itu dengan gembiranya memetik semua apel di pohon itu dan pergi dari situ. Dia tidak kembali lagi selepas itu. Pohon apel itu merasa sedih.

Masa kembali berlalu…

Suatu hari, remaja itu kembali. Dia semakin dewasa. Pohon apel itu merasa gembira. “Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu. “Aku tiada waktu untuk bermain. Aku terpaksa bekerja untuk mendapatkan uang. Aku ingin membina rumah sebagai tempat perlindungan untuk keluargaku. Bisakah kau menolongku?” Tanya anak itu.

“Maafkan aku. Aku tidak mempunyai rumah. Tetapi kau boleh memotong dahan-dahanku yang besar ini dan kau buatlah rumah daripadanya.” Pohon apel itu memberikan cadangan. Lalu, remaja yang semakin dewasa itu memotong ke semua dahan pohon apel itu dan pergi dengan gembiranya. Pohon apel itu pun turut gembira tetapi kemudiannya merasa sedih karena remaja itu tidak kembali lagi selepas itu.

Suatu hari yang panas, seorang lelaki datang menemui pohon apel itu. Dia sebenarnya adalah anak lelaki yang pernah bermain-main dengan pohon apel itu. Dia telah matang dan dewasa. “Marilah bermain-mainlah di sekitarku,” ajak pohon apel itu.

“Maafkan aku, tetapi aku bukan lagi anak lelaki yang suka bermain-main di sekitarmu. Aku sudah dewasa. Aku mempunyai cita-cita untuk belayar. Malangnya, aku tidak mempunyai perahu. Maukah kau menolongku?” Tanya lelaki itu.

“Aku tidak mempunyai perahu untuk diberikan kepada kau. Tetapi kau boleh memotong batang pohon ini untuk dijadikan perahu. Kau akan dapat belayar dengan gembira,” kata pohon apel itu. Lelaki itu merasa amat gembira dan menebang batang pohon apel itu. Dia kemudian pergi dari situ dengan gembiranya dan tidak kembali lagi selepas itu.

Namun begitu, pada suatu hari, seorang lelaki yang semakin di mamah usia, datang menuju pohon apel itu. Dia adalah anak lelaki yang pernah bermain di sekitar pohon apel itu. “Maafkan aku. Aku tidak ada apa-apa lagi untuk diberikan kepada kau. Aku sudah memberikan buahku untuk kau jual, dahanku untuk kau buat rumah, batangku untuk kau buatperahu. Aku hanya ada tunggul dengan akar yang hampir mati…” kata pohon apel itu dengan nada pilu.

“Aku tidak mau apelmu karena aku sudah tiada bergigi untuk memakannya, aku tidak mau dahanmu kerana aku sudah tua untuk memotongnya, aku tidak mau batang pohonmu kerana aku tidak berupaya untuk belayar lagi, aku merasa lelah dan ingin istirahat,” jawab lelaki tua itu.

“Jika begitu, istirahatlah di perduku,” kata pohon apel itu. Lalu lelaki tua itu duduk beristirahat di perdu pohon apel itu. Mereka berdua menangis kegembiraan.

Tahukah kamu. Sebenarnya, pohon apel yang dimaksudkan di dalam cerita itu adalah kedua orangtua kita. Saat kita masih muda, kita suka bermain dengan mereka. Ketika kita meningkat remaja, kita perlukan bantuan mereka untuk meneruskan hidup. Kita tinggalkan mereka, dan hanya kembali meminta pertolongan apabila kita di dalam kesusahan.

Namun begitu, mereka tetap menolong kita dan melakukan apa saja asalkan kita bahagia dan gembira dalam hidup. Anda mungkin terfikir bahwa anak lelaki itu bersikap kejam terhadap pohon apel itu, tetapi fikirkanlah, itu hakikatnya bagaimana kebanyakan anak-anak masa kini melayani ibu bapak mereka.
Hargailah jasa ibu bapak kepada kita. Jangan hanya kita menghargai mereka semasa menyambut hari ibu dan hari bapak setiap tahun saja.

Induk Rusa Yang Menepati Janjinya



Seekor induk rusa bersama dengan kedua anaknya yang sudah mulai belajar berjalan. Ketika itu pagi buta saat kedua anaknya masih tidur, induk rusa keluar pergi mencari makanan, dia bermaksud setelah pulang ia akan mengajar anak-anaknya mencari makan serta menjaga diri menghindari dari bahaya.

Setelah mendapat makanan rumput hijau yang segar, di perjalanan pulang ia terjebak dalam perangkap yang dibuat oleh pemburu. Sambil menangis, induk rusa itu memikirkan kedua anaknya.

Sang pemburu akhirnya tiba, induk rusa berlutut memohon kepada pemburu untuk membiarkannya pulang ke rumah memberi makan serta mengajari anaknya mencari makan, dia berjanji keesokkan harinya akan kembali ke sini menyerahkan diri.

Pemburu melihat rusa ini dapat berbicara, di dalam hatinya sangat terkejut dan gembira, dia memutuskan akan mempersembahkan rusa ajaib ini kepada raja, supaya dia menjadi terkenal dan mendapat hadiah dari raja. Tetapi setelah berpikir sejenak, dia berubah pikiran, melepaskan induk rusa pulang.

Induk rusa bergegas berlari pulang, suasana hatinya sangat sedih memikirkan kedua anaknya, setelah sampai dirumah dia berkata kepada kedua anaknya, “Anakku, mama akan menceritakan sebuah kebenaran dan ketidakkekalan di dunia ini kepada kalian, jika kalian sudah memahami kebenaran ini, maka kelak kalian akan siap menghadapi masalah apa pun.”

“Kalian nantinya tidak akan terlalu sedih lagi. Kalian harus ingat hidup ini sangat singkat, segalanya akan berubah tidak pernah abadi, nilai dari keluarga, kasih sayang semuanya tidak abadi….,” ujar induk rusa itu.

Anak-anaknya sambil menangis bertanya, “Lalu kenapa mama masih harus menepati janji kepada orang jahat tersebut?.” Induk rusa berkata, “Tanpa kepercayaan, dunia akan hancur, tidak ada kejujuran dunia akan runtuh, demi kelangsungan dan harapan dunia, saya rela berkorban, daripada menipu orang lain. Mama rela mati demi kejujuran, dari pada menipu untuk hidup.”

Setelah selesai berkata sambil menahan tangisannya induk rusa berlari keluar, anak-anak rusa mengejar dengan sekuat tenaga. Pemburu melihat induk rusa memenuhi janjinya datang kembali, menjadi sangat terharu dengan tangan merangkap di depan dada dan berlutut dia berkata kepada induk rusa, “Engkau bukan seekor rusa biasa, engkau pasti makhluk jelmaan surgawi.”

“Welas asihmu membuat orang sangat terharu, kejujuranmu membuat saya sangat malu. Silahkan engkau kembali, saya tidak akan menyakitimu lagi, bahkan mulai saat ini saya tidak akan menyakiti seekor binatang pun,” kata si pemburu itu.

Pelajaran yang bisa kita petik dari cerita diatas adalah: Sifat welas asih dan kejujuran dari induk rusa ini akhirnya membangkitkan niat baik serta membangkitkan watak dasar dan sisi baik dari pemburu tersebut. 

Kisah Kura Kura Yang Bawel

"Kisah Kura-Kura Yang Bawel"

Zaman dahulu kala di sebuah danau di pegunungan, hiduplah kura-kura yang bawel. Siapapun yang ditemuinya akan diajak bicara banyak, panjang lebar, tanpa jeda, dan sering membuat pendengarnya bosan, terganggu, hingga akhirnya jengkel. Mereka sering merasa heran bagaimana si kura-kura bisa bicara terus-menerus tanpa menarik nafas. binatang-binatang lain mulai menghindari kura-kura karena tahu mereka akan mati kutu jika kura-kura mulai berbicara pada mereka.

Si kura-kura bawel jadi kesepian karenanya.

Setiap musim panas, sepasang angsa putih datang ke danau di pegunungan untuk berlibur. Mereka baik hati karena membiarkan si kura-kura berbicara sepanjang yang dia mau. mereka tidak pernah protes ataupun meninggalkan kura-kura. Si kura-kura jadi merasa senang pada sepasang angsa itu.

Ketika musim panasa mulai berakhir dan hari-hari menjadi dingin, sepasang angsa bersiap-siap pergi dari danau itu. Si kura-kura mulai menangis. Dia benci musim dingin dan kesepian. “Andai saja aku bisa ikut pergi bersama kalian,” desahnya. “Kadang, ketika salju menutupi lereng dan danau, aku membeku, aku merasa begitu kedinginan dan kesepian.”

Sepasang angsa itu merasa kasihan pada si kura-kura, karena itu mereka mengajukan sebuah penawaran untuknya, “Kura-kura sayang, jangan menangis. Kami dapat membawamu asalkan kamu bersedia memegang satu janji saja.”

“Ya! Ya! Saya janji!” kata si kura-kura bawel, bahkan sebelum sepasang angsa mengatakan janji apa yang harus dia penuhi. “Kura-kura selalu menepati janji. Pernah, aku berjanji pada kelinci untuk berdiam diri sebentar saja setelah aku memberi tahu tentang semua perbedaan cangkang kura-kura dan…”

Satu jam kemudian, ketika si kura-kura berhenti bicara, sepasang angsa melanjutkan kata-kata mereka, “Kura-kura, kamu harus berjanji untuk tetap menutup mulutmu.”
“Gampang!” kata si kura-kura bawel. “Sebenarnya bangsa kura-kura terkenal sanggup menutup mulut kami dengan baik. Kami sebenarnya jarang sekali berbicara. Saya pernah menjelaskan hal ini kepada seekor ikan belum lama ini…”

Satu jam kemudian ketika si kura-kura bawel diam sejenak, sepasang angsa itu menyuruh si kura-kura untuk menggigit bagian tengah sebuah tongkat kayu yang panjang dan menyuruhnya untuk tetap menutup mulut. Lalu salah satu angsa memegang salah satu ujung tongkat dan yang lain memegang ujung lainnya. Keduanya lalu mulai mengepakkan sayap dan terbang.

Inilah pertama kali dalam sejarah dunia kita: kura-kura terbang!

Lebih tinggi dan lebih tinggi lagi mereka terbang menjulang. Makin lama danau di pegunungan itu makin mengecil. Bahkan gunung yang besar pun terlihat kecil di kejauhan. Si kura-kura yang merasa takjub berusaha mengingat pemandangan itu baik-baik untuk diceritakan pada teman-temannya nanti ketika dia sudah pulang.

Mereka terus terbang dan semuanya berjalan lancar sampai mereka melewati sebuah sekolah yang anak-anaknya baru pulang sekolah. Beberapa anak melihat sepasang angsa dan kura-kura bawel. Lalu seorang anak berteriak, “Hei, lihat! Ada kura-kura bodoh terbang!”

Mendengar itu, kura-kura bawel tidak dapat menahan dirinya. “Siapa yang kau bilang… ups!.. booo…doo..hhh!!!”

BRAAAK! Terdengar suara keras ketika tubuh kura-kura menghempas tanah. Dan itu adalah suara terakhir yang dapat dia keluarkan.

Si kura-kura bawel tewas karena dia tidak dapat menutup mulutnya pada saat benar-benar diperlukan.

RENUNGAN:
Jadi, jika anda tidak belajar bagaimana berdiam diri pada saat yang tepat, dan bilamana saat itu benar-benar penting, Anda tak akan mampu menutup mulut anda lagi. Bisa jadi anda akan berakhir sebagai hamburger, seperti kura-kura bawel itu.

Rasanya kita semestinya belajar untuk berdiam diri pada usia yang lebih dini dalam kehidupan kita : karena hal itu mungkin dapat menolong kita menghindari banyak kesulitan pada kemudian hari. Saya menceritakan kisah berikut ini kepada anak-anak yang datang berkunjung mengenai betapa pentingnya untuk berdiam diri.

Sumber: Regina Kim

Mau Download Komik Gratis ??

http://komikgratisanonline.1x.net/


Santai


Ada buah manggis
Ada juga buah anggur
Awalnya romantic
Pas tek dung..Eh malah kabur
                ____***____
Dalam sayur ada kaldu
Relung hatiku tersirat rindu
Bukan maksudku tuk bilang I Miss You..
Ataupun bilang I Love You..
Aa Cuma mau bilang
Sebelum tidur pipis dulu!!
                ____***____
Pohon kelapa..pohon durian
Pohon cemara..pohon palem
pohonnya tinggi-tinggi Ye!!
                ____***____

Monday, 12 September 2011

Cerita Silat

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”




Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.



“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.



“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”



“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”



“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.



“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan perikemanusiaan, tahu?”



Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”



“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!” Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.



“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.



“Ujar-ujar yang ke tiga.”



Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”



“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras itu.”



“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.



“Mengapa begitu?”



“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”



“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”



“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”



“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”



“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”



Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.



Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya, sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.







Hwesio gundul tinggi besar itu ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, tampak terkejut karena memang ia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di situ. Sebaliknya, ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio, juga kaget sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua meter)!



“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.



Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara ketawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut. Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka sambil membawa suling bambunya ia berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,



“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”



Karena dikejar-kejar, Cin Hai lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali seperti orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!



Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng dan memandang ke bawah. Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha, ha, ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua, ha, ha!”



Kemudian hwesio gundul itu menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak menyerang ketiga lawannya!



Tapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing. Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli mempergunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.



Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya aneh seperti menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat, tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup dan sepuluh jari tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan disebut Jian-coa-kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di puncak Heng-san hingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat ini hingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.







Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang ia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun sudah dilarang. Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang sekali. Apalagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu dikeroyok tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking tegangnya Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.



Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena betul-betul kepandaian Si Gundul ini telah maju hebat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras,



“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”



Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan di ikat pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia salurkan ke dalamnya. Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok) lalu mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!



Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan badai mengamuk.



“Ha, ha, ha! Hayo kalian keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok tapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang telah kering! Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ia seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya hingga kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah, sedangkan mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang penuh di mulut ular itu yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang kuburan!



Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.



Hampir saja ia bersorak dan bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata tajam, maka segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!



Biarpun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya, namun menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.







“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.



“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha, ha!” Biarpun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengarlah bunyi melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.



Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, lalu bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik seperti ada apa-apa di dalamnya yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali! Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.



Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali melihat betapa lima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!



Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya gesit sekali itu!



Biarpun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh itu, tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil ketakutan, ia memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di bawah tubuhnya tiba-tiba menjadi basah!



Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit. Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, tapi lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tapi juga menyerang dengan tak kurang hebatnya!



Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya daripada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh! Mendengar bunyi lengking yang lain ini kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan mereka berlima mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar “perintah” itu lebih nyata dan jelas lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!



Sebenarnya apakah yang terjadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama makin tak tertahan mendenar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya. Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, ia mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biarpun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga daripada suara Hai Kong Hosiang!







Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.



Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.



Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi ia telah merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.



“Hai Kong, kau makin tua makin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu ia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.



Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau mengejar, karena sungguhpun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi kalau dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu. Ia marah sekali karena gagal membunuh tiga orang musuh lamanya bahkan seekor ularnya masih berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.



Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar, Cin Hai sama sekali tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas telah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!



Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.



“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh tambalan. Kakek ini tubuhnya sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, kesemuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!



Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi ia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.



“Setan alas benar-benar! Tak seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya aku melelahkan diri?”



Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat itu juga ia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya? Kelima ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.







Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang telah dipelihara dan dididik bertahun-tahun sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa mendongkol dan marahnya.



Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”



Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”



Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus. “Eh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”



Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.



“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”



Tapi Cin Hai tak mempedulikannya bahkan lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”



“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.



“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.



“Cin Hai... Cin Hai...” terdengar gurunya memanggil lagi.



“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.



“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu,



“Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”



Bu Pun Su tertawa dan berkata,



“Kalau kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”



“Boleh, boleh, mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit, dan membingungkan.”