Monday 12 September 2011

Cerita Silat

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”




Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.



“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.



“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”



“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”



“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.



“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan perikemanusiaan, tahu?”



Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”



“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!” Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.



“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.



“Ujar-ujar yang ke tiga.”



Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”



“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras itu.”



“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.



“Mengapa begitu?”



“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”



“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”



“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”



“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”



“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”



Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.



Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya, sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.







Hwesio gundul tinggi besar itu ketika melihat tiga tosu ini keluar dari pintu kuil, tampak terkejut karena memang ia tidak menduga sama sekali akan melihat mereka di situ. Sebaliknya, ketiga orang tosu itu ketika melihat hwesio, juga kaget sekali dan mereka bertiga lalu menggerakkan tubuh loncat menghampiri. Loncatan ini luar biasa sekali, karena sekali saja meloncat, mereka bertiga telah melayang ke tempat hwesio itu yang jauhnya tak kurang dari sepuluh tombak (setombak kira-kira dua meter)!



“Hai Kong, kau berani menemui kami? Apakah kau mencari mampus?” Tosu jangkung kurus bertanya sambil mengketuk-ketukkan ujung tongkatnya ke atas tanah.



Tiba-tiba hwesio gundul yang bernama Hai Kong Hosiang itu tertawa dan suara ketawanya ini aneh sekali. Keras dan parau memekakkan telinga dan sebentar merendah bagaikan suara orang bernyanyi. Suara ini terdengar sampai di tempat jauh hingga guru dan murid yang sedang berada di dalam sebuah kamar dalam kuil itu menjadi terkejut. Anak kecil itu tak dapat menahan keinginan tahunya, maka sambil membawa suling bambunya ia berlari keluar dan dari kamar itu. Gurunya marah dan mengejarnya sambil berteriak,



“Cin Hai… Cin Hai.... kau tolol kembalilah nanti kuadukan kau kepada Pamanmu!”



Karena dikejar-kejar, Cin Hai lari ke tempat yang rendah di pinggir kuil lalu memanjat naik. Ketika siucai (sasterawan) tua yang kurus sekali seperti orang cacingan itu mengejar ke situ, ia lalu memanjat ke atas genteng! Ternyata Cin Hai yang baru berusia enam tahun itu berani sekali memanjat naik berlari di sepanjang wuwungan bangunan pinggir dari kuil itu. Kepalanya yang gundul dan bulat kecil itu seperti berkilau karena tertimpa cahaya matahari!



Gurunya berteriak-teriak memanggil dengan gemas dan memburu sampai di luar pintu, tetapi tiba-tiba sasterawan itu melihat tiga orang tosu dan seorang hwesio aneh yang kini saling berhadapan di luar kuil itu. Ia menjadi takut dan buru-buru bersembunyi di belakang pintu kuil! Cin Hai kini duduk di atas genteng dan memandang ke bawah. Juga ia heran sekali melihat tiga orang itu yang kini siap hendak mengeroyok Si Hwesio tinggi besar. Sementara itu, setelah tertawa keras yang mengejutkan Cin Hai dan gurunya, hwesio gundul itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan ia menggerak-gerakkan kedua lengannya yang hebat sambil berkata, “Ha, ha, ha! Kalian Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu, jangan kalian sombong karena kemenanganmu yang tipis pada beberapa tahun yang lalu di Heng-san! Apakah kaukira aku takut menghadapi Kanglam Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kanglam) yang tersohor? Ha, ha, ha! Kalian maju bertiga baru mengimbangi aku, tapi sekarang jangankan bertiga, kautambah tiga belas lagi akan kutewaskan semua, ha, ha!”



Kemudian hwesio gundul itu menggerakkan tubuhnya dan memang ia hebat sekali. Berbeda dengan tubuhnya yang besar dan kasar itu, gerakannya sebet dan gesit sekali. Tubuhnya bagaikan lenyap dan hanya bayang-bayangnya saja bergerak menyerang ketiga lawannya!



Tapi Kanglam Sam-lojin adalah tiga tokoh persilatan yang telah lama disohorkan orang. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari cabang persilatan Liong-san-pai dan ketiganya merupakan saudara seperguruan yang memiliki kepandaian silat tinggi dan keistimewaan masing-masing. Giok Im Cu yang tertua memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali hingga sukar dicari keduanya, Giok Yang Cu yang tinggi besar dan brewokan memiliki tenaga gwakang (tenaga luar, kekuatan urat) yang melebihi tenaga seekor kerbau jantan, sedangkan Giok Keng Cu adalah ahli mempergunakan piauw (senjata rahasia yang disambitkan) bersayap. Di samping kepandaian khusus ini, ilmu silat mereka juga tinggi dan lihai sekali.



Maka, menghadapi serangan Hai Kong Hosiang ini, mereka bertiga lalu berpencar dan menghadapi hwesio dari tiga jurusan. Hai Kong Hosiang ternyata luar biasa, karena gerak-geriknya aneh seperti menari berlenggak-lenggok, sama sekali bukan seperti gerakan silat, tapi kedua tangannya bagaikan dua ekor ular yang hidup dan sepuluh jari tangannya pun hidup bergerak-gerak dan tiap jari selalu mengancam jalan darah lawannya! Inilah ilmu silatnya yang aneh dan disebut Jian-coa-kun-hoat atau Ilmu Silat Seribu Ular. Ia gesit bagaikan ular dan setiap serangan yang dilancarkan selalu mengarah urat kematian lawan dan datangnya secara tiba-tiba tak terduga sama sekali! Baiknya ketiga tosu yang menjadi lawannya pernah bertempur dengan dia kira-kira tiga tahun yang lalu di puncak Heng-san hingga ketiga tosu itu sedikitnya tahu pula keganasan ilmu silat ini hingga mereka dapat menjaga diri dan melancarkan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya.







Cin Hai yang duduk di atas genteng itu dengan senang menonton pertempuran dan gembira sekali. Memang ia suka sekali menonton orang bersilat dan tiap kali di kota diadakan keramaian dan dipertunjukkan permainan demonstrasi silat, ia selalu pasti ada di antara penonton, dan minggat dari gedung pamannya biarpun sudah dilarang. Kini ada tontonan adu silat tanpa bayar tentu saja ia senang sekali. Apalagi adu silat kali ini sungguh berbeda dengan adu silat biasa yang dilakukan di atas panggung. Ia melihat, betapa empat orang yang berkelahi itu bergerak-gerak dengan aneh sekali dan kedua matanya menjadi kabur dan silau ketika melihat betapa tubuh keempat orang itu lenyap terganti oleh bayang-bayang hitam yang bergerak cepat sekali. Matanya yang silau kini tak dapat membedakan lagi mana hwesio gundul dan mana tiga orang tosu yang mengeroyoknya! Hanya kadang-kadang saja, warna merah dari jubah hwesio gundul itu masih tampak dan ternyata ia terkurung di tengah-tengah. Sungguh satu tontonan yang mengasyikkan dan menegangkan hati, apalagi karena Cin Hai tahu bahwa hwesio gundul itu dikeroyok tiga dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan mati-matian, berbeda dengan segala pibu (adu kepandaian silat) maka dengan tak terasa pula saking tegangnya Cin Hai memasukkan ujung suling ke mulut seperti orang sedang meniup suling.



Sementara itu, ketiga tosu yang mengeroyok Hai Kong Hosiang makin lama makin terdesak oleh Jian-coa-kun-hoat yang benar-benar lihai. Mereka terkejut sekali karena betul-betul kepandaian Si Gundul ini telah maju hebat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu. Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong akhirnya akan kalah, tiba-tiba Giok Im Cu berseru keras,



“Hai Kong, kau benar-benar hendak mengadu jiwa?”



Setelah berkata demikian, Giok Im Cu yang bertubuh tinggi kurus itu mencabut ranting kayu yang tadi ketika bertempur ia selipkan di ikat pinggangnya. Biarpun ranting itu hanya kecil saja, namun berada di dalam tangannya lalu berubah menjadi sebuah senjata yang ampuh karena ranting yang lemas itu dapat menerima tenaga lweekang yang ia salurkan ke dalamnya. Kedua kawannya lalu meniru perbuatan ini, Giok Keng Cu yang bertubuh kecil pendek dan sangat gesit itu lalu mencabut sebatang golok besar bergagang emas yang ia putar-putar sampai menerbitkan angin dingin, sedangkan Giok Yang Cu yang tinggi besar seperti Thio Hwie (seorang tokoh ternama dalam dongeng sejarah Samkok) lalu mencabut keluar sebatang pedang pusaka yang berkilauan saking tajamnya!



Ketiga tosu dengan senjata masing-masing ini lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan badai mengamuk.



“Ha, ha, ha! Hayo kalian keluarkan semua kepandaian, akhirnya akan kumampuskan seorang demi seorang!” Hai Kong Hosiang menyindir dan ia lalu mengeluarkan sebatang senjata aneh, yang tadi tersimpan di sebelah dalam jubahnya hingga tidak kelihatan. Senjata ini dilihat dari jauh kelihatan seperti sebatang kayu kering yang tidak lurus dan bengkak-bengkok tapi kalau dilihat dari dekat akan ternyata bahwa senjata itu adalah seekor ular yang telah kering! Biarpun telah mati dan kering, tapi tubuh binatang itu masih utuh dan lengkap, bahkan matanya yang melotot dan lidahnya yang terjulur itu membuat ia seakan-akan masih hidup. Senjata ini selain aneh juga berbahaya sekali karena ular itu bukan sembarang ular, tapi seekor ular berbisa yang luar biasa jahatnya. Hai Kong Hosiang memegang senjata tongkat ular itu pada ekornya hingga kalau ia mainkan senjata istimewa ini, lidah ular yang bercabang dua dan tajam itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah, sedangkan mulut bergigi ular itu dapat melukai kulit. Ini masih ditambah lagi dengan kejahatan racun yang penuh di mulut ular itu yang membuat setiap luka kecil pada tubuh lawan dapat menyeretnya ke lubang kuburan!



Sebentar saja keempat orang itu telah bertanding pula, kini jauh lebih hebat karena kalau tadi tubuh mereka masih tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari, maka kini setelah mainkan senjata, tubuh mereka lenyap dan sebagai gantinya tampak gulungan-gulungan sinar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya. Pertempuran adu jiwa yang seru dan serem, tapi yang membuat pemandangan indah menarik hingga Cin Hai menonton di atas genteng menjadi makin gembira lagi.



Hampir saja ia bersorak dan bertepuk tangan, tapi tiba-tiba kakinya yang menginjak genteng terpeleset hingga hampir saja ia jatuh ke bawah. Ia kaget dan pindah duduk di tempat yang lebih rendah. Sementara itu, gurunya yang tadi bersembunyi di balik pintu, ketika mencoba untuk menjenguk keluar dan menongolkan kepalanya, terkejut sekali melihat keempat orang itu kini bertempur dengan senjata tajam, maka segera kepala yang nongol itu ditariknya kembali ke belakang dengan cepat seperti kepala kura-kura, sedangkan tubuhnya yang kurus kering seperti cecak itu menggigil ketakutan!



Biarpun senjata di tangan Hai Kong Hosiang hebat sekali dan permainan silatnya yang berdasarkan permainan ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut (Ilmu Pedang Seribu Ular) lihai dan berbahaya, namun menghadapi tiga macam permainan senjata dari Kang-lam Sam-lojin itu, ia merasa kewalahan dan keteter juga, gerakannya mulai tak tetap dan sinar ketiga senjata lawannya makin menekan tongkat ularnya.







“Ha, Hai Kong, sekarang kau hendak lari ke mana?” Giok Keng Cu si kecil pendek menyindir sambil memperhebat gerakan golok besarnya.



“Ha, ha ha! Tiga tikus tua, kamu kira kalian akan terlepas dari tanganku, ha, ha!” Biarpun dalam keadaan terdesak, Hai Kong Hosiang masih sempat tertawa. Kemudian terdengarlah bunyi melengking yang aneh dari mulutnya. Suara ini menyerupai bunyi suling dan melengking tinggi rendah seperti berlagu.



Dan pada saat itu, keranjang rotan besar yang tadi dia panggul dan kini terletak di atas tanah, lalu bergoyang-goyang dan tubuhnya terangkat naik seperti ada apa-apa di dalamnya yang hendak keluar! Dan sesaat kemudian, ketika bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang itu meninggi, terbukalah tutup keranjang besar itu dan dari dalamnya tersembul kepala ular yang besar sekali! Ular itu mendesis-desis dan membuka mulutnya yang lebar, lidahnya yang merah dan tajam itu menusuk-nusuk keluar dari tengah-tengah mulutnya yang merah. Sepasang matanya liar memandang ke arah suara lengking yang menggairahkannya. Kemudian ia keluar dari keranjang itu dan alangkah panjang tubuhnya! Kepala ular itu terangkat, naik bagaikan sedang mencari-cari mangsanya dan pada saat itu, dari dalam keranjang keluar pula ular lain berturut-turut hingga semua isi keranjang yang ternyata mengandung lima ekor ular yang mengerikan itu telah keluar semua.



Tiga orang tosu yang sedang mendesak Hai Kong Hosiang, terkejut sekali melihat betapa lima ekor ular itu cepat menghampiri mereka dan segera mengurung dalam segi lima yang teratur. Gerakan kelima binatang buas itu cepat dan gesit, sedangkan tubuh mereka yang berkembang dengan warna merah kehijauan itu berlenggak-lenggok seperti sedang menari-nari. Nyata sekali bahwa gerakan-gerakan mereka terpengaruh oleh bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang!



Giok Keng Cu cepat mengeluarkan hui-piauw (piauw terbang) dari sakunya dan sekali menggerakkan tangan, lima batang menyambar ke arah dua ekor ular yang berada di depannya. Tapi pada saat itu juga, dari jurusan Hai Kong Hosiang menyambar dua benda hitam yang membentur dua batang piauw itu sedangkan tiga batang piauw yang masih menyambar, dapat dikelit oleh dua ekor ular yang ternyata gerakannya gesit sekali itu!



Biarpun pada dasarnya mempunyai hati yang besar dan ketabahan serta keberanian luar biasa, tapi ketika melihat betapa dari keranjang itu keluar lima ekor ular yang menakutkan sekali, Cin Hai merasa ngeri juga! Ia memandang keadaan di bawah dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang membuat telinganya terasa sakit dan perasaannya tak enak sekali. Sementara gurunya yang bersembunyi dengan tubuh menggigil, ketika mendengai bunyi lengking yang aneh itu, tak dapat menahan keinginan hatinya untuk melihat. Biarpun masih menggigil ketakutan, ia memaksakan diri untuk menongolkan kepala lagi. Tapi pemandangan yang dihadapinya sekarang terlampau hebat dan mengerikan untuknya. Jantungnya terasa berloncat-loncatan ke atas, berjungkir balik beberapa kali di dalam dadanya kemudian jatuh kembali ke tempat semula dengan terbalik! Ia merasa lemas dan roboh pingsan bagaikan sehelai kain yang dilepaskan, sedangkan di bawah tubuhnya tiba-tiba menjadi basah!



Keadaan ketiga tosu itu makin berbahaya. Kini lima ekor ular itu, atas desakan bunyi lengking dari Hai Kong Hosiang, mulai dengan penyerangan mereka. Sedikit demi sedikit kurungan mereka makin rapat dan ketiga tosu yang bergerak di dalam kurungan itu tak dapat keluar, sedangkan ruang untuk bergerak makin sempit. Mereka mempertahankan diri dan melakukan serangan hebat dengan senjata mereka, tapi lima ular itu ternyata gesit sekali dan dapat mengelakkan tiap serangan senjata lawan. Selain itu masih ada Hai Kong Hosiang yang tidak tinggal diam, tapi juga menyerang dengan tak kurang hebatnya!



Keadaan tiga orang tosu itu berbahaya sekali dan agaknya mereka takkan tertolong lagi. Tapi pada saat itu, dari atas terdengarlah bunyi yang lebih tinggi nadanya daripada bunyi lengking dari mulut Hai Kong Hosiang, dan aneh! Mendengar bunyi lengking yang lain ini kelima ular itu agaknya menjadi bingung sekali. Gerakan mereka kacau-balau dan mereka berlima mengangkat-angkat kepala tinggi-tinggi seakan-akan tak tahu harus berbuat apa. Terang sekali bahwa mereka mencari-cari ke atas dengan sepasang mata mereka untuk dapat mendengar “perintah” itu lebih nyata dan jelas lagi! Melihat hal ini, Hai Kong Hosiang lalu menyelipkan tongkat ularnya di dalam jubah dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya untuk memperkuat perintahnya dan lengking yang keluar dari mulutnya makin menghebat. Tapi bunyi lengking dari atas itu juga makin hebat seakan-akan tak mau kalah bersaing! Ular-ular itu makin panik dan bingung hingga akhirnya seekor yang terkecil kena sabet oleh ranting di tangan Giok Im Cu hingga berkelojotan!



Sebenarnya apakah yang terjadi? Ternyata Cin Hai, anak kecil gundul yang dengan enak-enak asyik nonton di atas genteng dan merasa betapa bulu tengkuknya meremang melihat lagak dan keganasan ular-ular itu, makin lama makin tak tertahan mendenar bunyi lengking yang keluar dari mulut Hai Kong Hosian dan suara itu seakan-akan menembus anak telinganya dan langsung menusuk-nusuk hatinya. Maka ia menjadi marah, lalu ditiupnyalah suling yang memang sejak tadi telah dimasukkan di mulutnya. Cin Hai memang pandai meniup suling dan ia meniru-niru segala macam lagu yang didengarnya. Kini mendengar nada lengking hwesio gundul yang aneh itu, ia mencoba-coba dan bersusah payah untuk menirunya pula. Tapi, biarpun ia telah meniup nada yang setinggi-tingginya tak juga dapat meniru dengan tepat dan baik, bahkan suara lengking sulingnya terdengar sumbang dan lebih menyakitkan telinga daripada suara Hai Kong Hosiang!







Akan tetapi aneh, ketika ia telah meniup sulingnya, makin tinggi nada yang ditiupnya, makin berkuranglah rasa sakit di telinga dan hatinya akibat suara yang dikeluarkan oleh hwesio itu, maka dengan gembira Cin Hai makin memperkeras bunyi sulingnya. Ketika ia melirik ke bawah kegembiraannya bertambah karena ia melihat betapa hwesio gundul yang berwajah menyeramkan dan yang ia benci itu tampaknya marah sekali, sedangkan lima ekor ular itu menjadi tidak karuan gerakannya.



Cin Hai lalu meniup dan meniup lagi tak tentu apa yang dilagukannya asal meniup nada yang tinggi-tinggi saja! Ia sama sekali tidak mengira bahwa karena perbuatannya ini maka ular-ular itu kehilangan bimbingan dan karenanya ia telah menolong tiga orang itu.



Bukan main marahnya hati Hai Kong Hosiang karena perbuatan anak kecil yang nakal itu ternyata telah menggagalkan kurungannya terhadap ketiga tosu musuhnya, padahal tadi ia telah merasa pasti sekali bahwa tak lama lagi ketiga tosu itu tentu akan dapat ia robohkan. Sebaliknya, tiga orang tosu itu ketika melihat betapa keadaan Hui Kong Hosiang dan ular-ularnya telah kacau, segera menggunakan kesempatan itu untuk meloncat keluar kurungan. Mereka bertiga mengeluarkan keringat dingin karena keadaan mereka tadi benar-benar berbahaya.



“Hai Kong, kau makin tua makin jahat dan lihai!” Giok Im Cu berkata memuji, lalu ia mengajak kedua kawannya pergi secepat mungkin. Ia tahu bahwa biarpun seekor ular hwesio itu telah dapat dilukai, namun dengan empat ekor ularnya yang lihai, hwesio itu masih merupakan lawan yang sangat tangguh dan sukar dilawan. Tanpa mempedulikan anak kecil gundul yang tanpa disengaja telah menolong jiwa mereka, ketiga tosu itu lari meninggalkan tempat itu.



Hai Kong Hosiang membanting kakinya yang besar dan kuat. Ia tak mau mengejar, karena sungguhpun ia tak usah kalah dalam hal ilmu lari cepat, tapi kalau dapat mengejar juga, apa gunanya? Seorang diri tanpa dibantu ular-ularnya ia takkan menang menghadapi tiga orang tosu yang lihai itu. Ia marah sekali karena gagal membunuh tiga orang musuh lamanya bahkan seekor ularnya masih berkelojotan kena gebuk ranting Giok Im Cu yang lihai. Tentu tulang punggung ular itu telah remuk! Semua gara-gara anak setan itu, pikirnya.



Hai Kong Hosiang melihat ke arah Cin Hai yang masih saja meniup sulingnya. Hwesio gundul itu lalu mengayun tangan kirinya dan sebutir pelor batu hitam menyambar, Cin Hai sama sekali tidak tahu akan datangnya serangan. Tahu-tahu suling yang terpegang di tangannya dan sedang ditiup itu telah terbang bagaikan direnggut oleh tangan yang tidak kelihatan! Ketika ia memandang ke bawah, kembali tangan kiri Hai Kong Hosiang diayun dan sebutir pelor hitam melayang menuju arah kepala Cin Hai! Hai Kong Hosiang dengan muka merah karena gemas telah membayangkan betapa kepala anak kecil yang gundul seperti kepalanya sendiri itu akan pecah ditembusi pelornya dan betapa tubuh itu akan menggelinding turun dari atas genteng tanpa nyawa pula. Tapi alangkah heran dan kagetnya melihat pelornya itu tiba-tiba saja mencong arahnya dan sebaliknya menghantam tembok di dekat anak itu hingga tembus dan tembok itu berlubang!



Ketika ia sedang bengong terdengar suara yang halus penuh kesabaran menegur.



“Tidak malukah kau, Hwesio? Menyerang seorang anak kecil tak berdaya?” Dan tiba-tiba saja di belakang Cin Hai muncul seorang kakek tua berpakaian penuh tambalan. Kakek ini tubuhnya sedang, mukanya penuh cambang kasar dan kaku, bajunya tambal-tambalan, kesemuanya membayangkan kemiskinan dan kekasaran hingga agaknya sangat aneh dan janggal bila suara teguran yang halus dan sabar itu keluar dari mulutnya yang tampak kasar kejam itu!



Ketika melihat kakek jembel itu, Hai Kong Hosiang menjadi pucat. Tanpa banyak cakap lagi ia mengambil semua ular besarnya dan memasuk-masukkan mereka ini ke dalam keranjang kembali. Lalu ia memanggul keranjang rotannya dan pergi secepat terbang dari situ sambil mengomel panjang pendek.



“Setan alas benar-benar! Tak seperti hari ini sialnya diriku. Gagal membasmi Kang-lam Sam-lojin, bertemu dengan Bu Pun Su Si Jembel Tua! Baiknya ia tidak menurunkan tangan jahat kepadaku. Dengan dia berada di sini, apa perlunya aku melelahkan diri?”



Tapi Hai Kong Hosiang keliru kalau menganggap bahwa kakek jembel itu berlaku murah padanya karena pada saat itu juga ia merasa betapa keranjang yang dipanggulnya menjadi berat dan tiba-tiba dari keranjang itu menetes turun darah ke atas pundaknya. Ia cepat menurunkan keranjangnya dan cepat membuka tutupnya. Apa yang dilihatnya? Kelima ularnya telah mati semua dan di kepala kelima ular itu tampak luka kecil yang mengalirkan darah. Ia tahu bahwa ini adalah akibat dari serangan gelap Bu Pun Su, Si Jembel tadi, yang mempergunakan gin-ciam (jarum perak) untuk membunuh ular-ular itu.







Melihat betapa binatang-binatang peliharaan yang telah dipelihara dan dididik bertahun-tahun sampai pandai dan dapat membela dirinya itu mati semua tiba-tiba Hai Kong Hosiang membanting-banting kakinya dan menangis! Hwesio gundul yang bertubuh tinggi besar itu melolong-lolong dan tersedu-sedu melampiaskan rasa mendongkol dan marahnya.



Kemudian ia berdiri dan meninggalkan keranjangnya. Sambil berlari-lari ia berkata. “Awas Bu Pun Su, lain kali aku akan membunuhmu untuk ini!”



Cin Hai yang masih duduk di atas genteng kini tahu bahwa kakek jembel yang berdiri di belakangnya itu telah menolongnya, maka ia lalu bertanya, “Eh, kakek tua renta, dia tadi menyambit dengan apakah?”



Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Si Jembel Tua itu tertawa bergelak dan kembali suara ketawanya sama sekali tidak sesuai dengan keadaannya, merdu dan halus. “Eh, anak tolol, dia tadi menyambitmu dengan tangan maut. Kalau tidak ada aku si tua renta, sekarang kau sudah menghadap Giam Lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”



Sementara itu, guru anak itu yang masih berdiri di belakang pintu, setelah mendengar di luar sunyi dan suara Cin Hai bercakap-cakap di atas, lalu berlari keluar dan memanggil-manggil.



“Cin Hai... Cin Hai... kau turunlah, mari kita pulang!”



Tapi Cin Hai tak mempedulikannya bahkan lalu bertanya kepada kakek yang menolongnya tadi, “Kakek, bagaimanakah kau tadi menolongku?”



“Kau ingin mempelajarinya?” tanya Bu Pun Su.



“Tentu saja, asal kau orang tua sudi mengajarku,” jawab anak itu.



“Cin Hai... Cin Hai...” terdengar gurunya memanggil lagi.



“Tunggulah sebentar, Sianseng, itu Si Gundul dengan ular-ularnya datang lagi!” Cin Hai berteriak dari atas.



“Ya Tuhan Yang Maha Esa... !” guru itu menjerit dan cepat ia menyelinap lagi ke belakang daun pintu. Cin Hai menahan gelinya dan ia berkata kepada kakek jembel itu,



“Dia juga Guruku dan mengajar ilmu surat padaku.”



Bu Pun Su tertawa dan berkata,



“Kalau kau ingin aku mengajarmu, kau harus mengangkat guru padaku.”



“Boleh, boleh, mengangkat guru saja, apa susahnya? Asal jangan disuruh menghafal ujar-ujar yang sulit, dan membingungkan.”