Urang Sunda Jadi Presiden, Apa Mungkin?
Oleh Iip D Yahya
Tulisan Jamaludin Wiartakusumah (Mang Jamal) di Kompas (18/9) sangat
menggelitik sekaligus menohok. Bahwa sejumlah kelebihan pribadi para
presiden RI, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, sebenarnya
dimiliki pula oleh orang Sunda. Akan tetapi, mengapa belum ada orang Sunda
yang bisa meraih jabatan tersebut?
Salah satu sifat orang Sunda yang laten adalah individualis. Kalau sudah
menjabat di pusat kekuasaan, ia lupa menyertakan gerbong Sunda, sesuatu
yang lazim dilakukan pejabat pusat dari etnik lain. Lihat saja Presiden
SBY sekarang yang mempunyai ibu dari Blitar. Wakil Presiden Boediono
berasal dari Blitar. Ketua Umum Partai Demokrat, sebagai partai terbesar,
Anas Urbaningrum dari Blitar. Panglima TNI Agus Suhartono pun kelahiran
Blitar. Toh tidak ada yang protes bahwa tindakan itu "Blitar sentris" atau
"Jawa Timur sentris". Semua aman-nyaman saja menerimanya, sebagai sesuatu
yang ilahar.
Di luar jaringan Blitar, saat ini panggung politik Indonesia dikuasai
"Palembang connections". Ketua MPR, Ketua DPR, Ketua Setgab Koalisi Besar
sekaligus Menko Ekuin, semua dari Palembang. Kita pun tidak merasa ada
yang terganggu, adem ayem saja.
Pernah ada pejabat kita yang coba menerobos sifat individualis itu, yaitu
Yogie S Memet ketika menjabat Mendagri. Depdagri saat itu "di-Jabar-kan".
Ternyata yang paling ribut menolak dan mencemooh justru orang Sunda, dan
etnik lain tinggal bertepuk tangan. Dengan demikian, ada masalah internal
pada orang Sunda sebelum muncul atau dimunculkan di pentas nasional. Tanpa
penyelesaian yang tuntas, sekalipun ada tokoh Sunda yang memiliki semua
bakat yang dimiliki para presiden terdahulu, ia belum tentu bisa jadi
presiden. Ada persoalan strategi, garis tangan, nasib baik, dan tentu saja
takdir Tuhan. Jadi, yang diperlukan bukan sekadar epigon.
Realitas politik nasional saat ini diakui sangat "kejam" bagi orang Sunda.
Memiliki jumlah pemilih terbesar di Indonesia, tetapi tidak memiliki tokoh
penting di hampir semua partai politik. Bahkan, dalam realitas politik
lokal, pada 2008 orang Sunda memilih gubernur dan wakil gubernur yang
tidak memiliki KTP Jawa Barat.
Sunda mukimin
Tanpa bermaksud beralibi, semua presiden RI selalu mengidentifikasikan
dirinya dengan Sunda, secara langsung atau tidak langsung. Soekarno kuliah
di THS Bandung dan menikah dengan perempuan Sunda yang kemudian dicerainya
sesaat sebelum "memetik hasil perjuangan" berupa proklamasi kemerdekaan.
Sekian lama tinggal di Bandung, pastilah Soekarno memiliki identitas warga
Bandung. Dalam terminologi sekarang, dia dapat tergolong Sunda mukimin.
Dalam sidang PPKI, ia ditetapkan secara aklamasi sebagai presiden atas
usulan Oto Iskandar di Nata, tokoh utama Pasundan.
Soeharto, sebagai presiden kedua, peran pentingnya diawali dengan memimpin
rapat di Markas Kostrad, yang menentukan dalam menaklukkan pasukan-pasukan
yang berafiliasi pada G30 S dan pembubaran PKI. Dengan rapat itulah,
secara sistemik, Soeharto bisa mengeliminasi peran dan kesempatan Nasution
untuk menjadi presiden kedua. Menurut sumber-sumber yang penulis temukan,
yang mengatur rapat penting tersebut adalah Kepala Staf Kostrad Mayjen
Achmad Wiranatakusumah. Di lingkaran tertentu, banyak yang berseloroh
bahwa Achmad adalah sosok yang ikut mengantarkan Soeharto ke tampuk RI 1.
Presiden ketiga BJ Habibie, lahir di Pare-Pare, tetapi punya proyek
prestisius bernama IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) di Bandung.
Sejak 1950 Habibie pindah ke Bandung untuk menuntut ilmu di Gouvernments
Middlebare School setingkat SMA. Ia lalu kuliah di ITB sebelum melanjutkan
ke Jerman. Ia juga bisa dianggap sebagai Sunda mukimin sekalipun ketika
jadi presiden lebih memilih untuk mengangkat sejumlah orang asal Sulawesi
Selatan.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tanpa ragu, mengakui bahwa perjalanannya
meraih kursi kepresidenan banyak dibantu, secara spiritual, oleh Mbah
Panjalu, penyebar tarekat Syadziliyah yang dimakamkan di Panjalu, Ciamis.
Pengakuan itu dibuktikannya dengan mengunjungi makam Mbah Panjalu sesaat
setelah ia dilantik menjadi presiden. Sebelum menjabat presiden, secara
administratif ia menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan atas restu Rais
Aam PBNU KH Ilyas Ruhiat. Posisi itulah yang memungkinkannya bisa ikut
"mengatur" Sidang MPR pada 1999. Kiai Ilyas adalah pengasuh Pesantren
Cipasung, Tasikmalaya.
Megawati Soekarnoputri, sebelum menjadi presiden, terpilih menjadi anggota
DPR dari daerah pemilihan (dapil) Bandung. Begitu pula Taufik Kiemas,
sekalipun orang Sumatera Selatan, selalu terpilih dari dapil Bandung.
Konsep marhaenisme yang terus diusung PDI-P, yang masih ampuh meraih
simpati orang Jabar, berawal dari pengamatan ayah Megawati atas kehidupan
cacah pituin Sunda.
SBY meniti karier yang cukup lama di lingkungan Yonif Linud 330 Kostrad
dan Linud 17 Kujang I Kostrad yang bermarkas di Jabar. Tim suksesnya dalam
Pilpres 2009, secara sadar, memilih gedung Sabuga sebagai tempat deklarasi
untuk membangkitkan romantisme SBY akan Bandung dan mengidentifikasikan
kedekatan SBY dengan masyarakat Jabar. SBY sendiri tidak ragu mengakui
bahwa kehidupannya di Bandung, ketika memimpin pasukan atau menjalani
pendidikan, sangat memengaruhi perjalanan hidupnya menuju tampuk
kepemimpinan nasional.
"Disemahkeun" dulu
Dengan prinsip someah hade ka semah, Bandung dan Jawa Barat telah menjadi
tempat berseminya calon-calon pemimpin Indonesia. Orang Sunda tidak pernah
pasea mendukung Soekarno-Soeharto-Habibie-Abdurrahman-Megawati-SBY justru
karena mereka semua "semah", bukan pituin Sunda. Namun, sekali saja ada
calon dari pituin Sunda sendiri, konflik internal muncul. Naon leuwihna
silaing ti kuring? Lalu akan dimulailah pancakaki, bahwa garis dari
leluhurnyalah yang paling hebat dan sah untuk diorbitkan.
Kegelisahan Mang Jamal akan terjawab, mungkin jika tokoh-tokoh muda
potensial Sunda "disemahkeun" dulu ke luar Jawa Barat. Biarlah mereka jadi
politisi di luar kandang terlebih dahulu. Jarang kita dengar pendatang
asal Sunda ribut di lembur batur. Artinya, mereka bisa diterima di mana
saja di Indonesia ini. Tokoh pituin Sunda akan lebih diterima di pentas
nasional jika muncul dari luar Jabar. Sekarang sudah mulai terlihat
presedennya dengan tampilnya beberapa politisi Senayan yang terpilih dari
dapil di luar Jawa. Mudah-mudahan proses ini berjalan alami dan tidak
terganggu oleh politisi super-ambisus yang suka gehgeran dan luncat
mulang.
Walhasil, apakah urang Sunda bisa jadi presiden RI? Jawabannya tentu saja
bisa. Tetapi, apakah mungkin? Itulah yang belum bisa diterawang dalam
situasi-kondisi perpolitikan saat ini. Selain ada persoalan eksternal,
orang Sunda juga punya masalah internal yang harus diselesaikan. Apakah
orang Sunda memang mau dan siap (bukan sekadar ambisi) menjadi presiden?
Lalu, apakah orang Sunda merasa perlu ada tokohnya yang menjadi presiden?
Kalau dua pertanyaan ini sudah terjawab, dengan sejumlah konsekuensi
logisnya, isuk pageto baring supagi, insya Allah akan ada presiden yang
benar-benar urang Sunda.
IIP D YAHYA Bergiat di Rumah Baca Buku Sunda, Bandung
Dimuat kompas kemis kamari 29 sept 2010