Setiap kali disebut bela diri, entah mengapa selalu saja tergambar dalam benak kebanyakan orang tentang sesuatu yang berhubungan dengan kecakapan dan kemampuan olah fisik semata. Padahal sejatinya bela diri dapat diartikan dan dipahami dengan lebih luas lagi sebagai segala upaya, usaha, dan tindakan yang dilakukan seseorang untuk menjaga dan mempertahankan eksistensi (keberadaan) dirinya.
Dengan demikian, bela diri tidaklah terbatas pada penguasaan atas keahlian seni bela diri tertentu saja. Pendidikan—formal maupun nonformal—yang telah dan sedang dijalani dapat pula dikategorikan sebagai bela diri. Kenapa tidak? Bukankah pendidikan itu merupakan usaha membekali diri dengan berbagai pengetahuan agar mampu bertahan dalam kehidupan yang dari waktu ke waktu semakun tak menentu?
Islam sebagai ajaran mulia, sempurna, dan menyeluruh tak luput memberikan jalan keluar untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang disebabkan oleh anasir-anasir jahat. Begitu pula dalam membela diri, Islam telah mewajibkan setiap pemeluknya menuntut ilmu sebagai sarana pendidikan diri agar tidak tersalah dalam menjalani kehidupan dunia yang akan menyebabkan kecelakaan menuju akhirat.
Yang jelas, sejauh ini tidak didapatkan satu bentuk seni bela diri pun yang diriwayatkan berasal dari Nabi, baik yang sahih, daif, bahkan maudhu’ sekalipun. Padahal Nabi—berkebangsaan Arab, tentu saja mengenal seni bela diri dalam kelompok masyarakatnya kala itu. Misalnya saja gulat. Nabi sendiri pernah memenangi ‘pertanding’ gulat. Akan tetapi, tetap belum ditemukan semacam penjelasan kalau Nabi menganjurkan gulat.
Uniknya, Islam mengamanatkan kepada para orang tua agar mengajari anak-anak mereka dengan keahlian-keahlian khusus, di antaranya memanah, menunggang kuda—berkendaraan, dan berenang. Tentu saja hal tersebut tidak termasuk dalam salah satu cabang seni bela diri manapun. Sekali lagi ini hanyalah membuktikan bahwa seni bela diri murni hasil dari tradisi suatu budaya tertentu.
Dikarenakan hal itu, dalam menyikapi seni bela diri—apa pun wujudnya—penting diperhatikan pengaruh-pengaruh tradisi dari kebudayaan tertentu yang masih melekat dalam seni bela diri bersangkutan. Islam sebagai tatanan kehidupan yang berlaku universal dan eternal (sepanjang masa) dalam menghadapi kreasi budaya yang bervariasi tidaklah menafikan semua, pun juga tidak memakbulkan segala. Selagi tidak berseberangan dengan kaidah, prinsip, dan ruh nilai-nilai Islam, seni bela diri sebagai produk kebudayaan bisa saja digiatkan.