Friday, 17 May 2013

Kerjasama Multilateral

Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Organisasi Konperensi Islam (OKI) dibentuk setelah para pemimpin sejumlah negara Islam mengadakan Konperensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 22-25 September 1969, dan menyepakati Deklarasi Rabat yang menegaskan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan hak azasi manusia. Pembentukan OKI semula didorong oleh keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam, khususnya setelah unsur Zionis membakar bagian dari Masjid suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969. Pembentukan OKI antara lain ditujukan untuk meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengkoordinasikan kerjasama antara negara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Asia dan Afrika.

Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.

Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia.

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015.

OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia; meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.  


G-15
Pada KTT ke-9 Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd bulan September 1989, 15 negara berkembang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk Kelompok Tingkat Tinggi untuk Konsultasi dan Kerjasama Selatan-Selatan (Summit Level Consultative Group on World Economic Crisis and Development/SLCG) yang kemudian lebih dikenal dengan nama G-15. Meskipun diumumkan pada kesempatan KTT GNB, G-15 secara organisasi bukan bagian dari GNB.
G-15 bertujuan sebagai wadah kerjasama ekonomi dan pembangunan negara-negara berkembang yang terdiri dari Aljazair, Argentina, Brazil, Chile, Kolombia, India, Indonesia, Iran, Jamaika, Kenya, Malaysia, Mesir,  Meksiko, Nigeria, Peru, Senegal, Sri Lanka, Venezuela dan Zimbabwe.  G-15 diharapkan dapat mendayagunakan potensi kerjasama diantara negara berkembang. Melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan tersebut pada gilirannya akan menunjang kredibilitas negara-negara berkembang dalam upayanya untuk mengaktifkan kembali dialog Utara-Selatan. G-15 juga dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menyampaikan kepentingan negara berkembang dalam forum G-20.

Untuk mencapai tujuannya, G-15 telah  mencanangkan berbagai macam proyek pembangunan dan kerjasama teknis dalam berbagai bidang antara lain di bidang perdagangan, usaha kecil dan menengah (SME's), energi, pertambangan, investasi, pembiayaan perbankan dan perdagangan, teknologi informasi, pertanian, pendidikan, dan pembangunan kapasitas sumber daya manusia.

Pada KTT ke-3 G-15 pada tanggal 11-14 September 2006, di Havana, Cuba, telah dilakukan serah terima keketuaan G-15 dari Aljazair kepada Iran. KTT tersebut telah menyepakati sebuah Joint Communique yang memuat komitmen bersama negara-negara anggota G-15 dalam menghadapi berbagai tantangan global, meningkatkan kerjasama di berbagai bidang dan upaya revitalisasi dan konsolidasi internal sehingga kerjasama  G-15 lebih efektif dalam membantu pembangunan negara-negara anggota.

Indonesia melihat bahwa G-15 memiliki berbagai potensi dalam meningkatkan kerjasama saling menguntungkan antar negara anggotanya, antara lain karena sebagian besar negara anggota G-15 memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah, dan beberapa diantaranya merupakan negara yang tingkat ekonominya relatif sudah sangat berkembang dengan beragam kemajuan di bidang industri, infrastruktur dan teknologi. Keuntungan   G-15 yang lain adalah beberapa negara anggotanya telah memiliki atau menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga negara maju seperti OECD dan G-8, maupun dengan kelompok regional lainnya yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi global, dimana hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi bagi kepentingan organisasi umumnya dan Indonesia khususnya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan di San Francisco, Amerika Serikat pada 24 Oktober 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia II. Namun, Sidang Majelis Umum yang pertama baru diselenggarakan pada 10 Januari 1946 di Church House, London yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 51 negara. Saat ini terdapat 192 negara yang menjadi anggota PBB. Semua negara yang tergabung dalam PBB menyatakan independensinya masing-masing.

Sejak didirikan pada tahun 1945, negara-negara anggota PBB berkomitmen penuh untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar negara, mempromosikan pembangunan sosial, peningkatan standar kehidupan yang layak, dan Hak Azasi Manusia. Dengan karakternya yang unik, PBB dapat mengambil sikap dan tindakan terhadap berbagai permasalahan di dunia internasional, serta menyediakan forum terhadap 192 negara-negara anggota untuk mengekspresikan pandangan mereka, melalui Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak Azasi Manusia, dan badan-badan serta komite-komite di dalam lingkup PBB. Sekretaris Jenderal PBB saat ini adalah Ban Ki-moon asal Korea Selatan yang menjabat sejak 1 Januari 2007.
Ruang lingkup peran PBB mencakup penjaga perdamaian, pencegahan konflik dan bantuan kemanusiaan. Selain itu, PBB juga menanganii berbagai permasalahan mendasar seperti pembangunan berkelanjutan, lingkungan dan perlindungan pengungsi, bantuan bencana, terorisme, perlucutan senjata dan non-proliferasi, mempromosikan demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pemerintahan, ekonomi dan pembangunan sosial, kesehatan, upaya pembersihan ranjau darat, perluasan produksi pangan, dan berbagai hal lainnya, dalam rangka mencapai tujuan dan mengkoordinasikan upaya-upaya untuk dunia yang lebih aman untuk ini dan generasi mendatang.

Kelompok 77 dan China


Kelompok 77 dibentuk pada tanggal 15 Juni 1964 melalui pengesahan Joint Declaration dari 77 anggota negara berkembang pada saat berlangsungnya sidang Sesi Pertama United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) di Jenewa. Sampai saat ini, Kelompok 77 dan China telah beranggotakan 133 negara.

Kelompok 77 dan China merupakan forum yang memiliki tujuan utama untuk mendorong kerjasama internasional di bidang pembangunan. Pada perkembangannya Kegiatan Kelompok 77 dan China ditujukan tidak saja untuk memberikan dorongan dan arah baru bagi pelaksanaan kerjasama Utara-Selatan di berbagai bidang pembangunan internasional, akan tetapi juga dimaksudkan untuk memperluas kerjasama dalam memantapkan hubungan yang saling menguntungkan dan saling mengisi antara sesama negara berkembang melalui Kerjasama Selatan-Selatan.

Kegiatan-kegiatan penting Kelompok 77 dan China dalam kerangka PBB terutama untuk merundingkan berbagai isu  dan keputusan/resolusi yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan PBB, antara lain tindak-lanjut pelaksanaan Program Aksi KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, KTT Wanita di Beijing, Sidang Khusus SMU PBB mengenai obat-obat terlarang, modalitas penyelenggaraan Konperensi Internasional mengenai Pendanaan untuk Pembangunan, Pengkajian Tiga Tahunan Kegiatan Operasional PBB untuk Pembangunan, Pelaksanaan Dialog di SMU PBB mengenai Globalisasi, Pertemuan Interim Development Committee IMF/Bank Dunia, ECOSOC, dan usulan reformasi PBB di bidang ekonomi dan sosial.

Untuk menyatukan komitmen diantara pemimpin dari negara anggota Kelompok 77 dan China, Kelompok 77 dan China memiliki Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Selatan merupakan pertemuan tertinggi di antara negara anggota Kelompok 77 dan China. KTT Selatan telah dua kali diselenggarakan yakni di Havana pada tahun 2000 dan di Doha pada tahun 2005.

Hasil KTT Selatan ke-2 di Doha, Qatar pada bulan Juni 2005 adalah Doha Declaration dan Doha Plan of Action.

Deklarasi Doha secara umum memuat komitmen politik anggota Kelompok 77 dan China untuk meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan antara lain isu dimensi pembangunan dalam agenda internasional, ruang kebijakan nasional, penguatan multilateralisme, dialog antar peradaban, ketatalaksanaan yang baik, masyarakat madani, geografi baru hubungan ekonomi internasional, transfer teknologi, reformasi PBB dan globalisasi. Atas usul Indonesia Deklarasi Doha juga mencantumkan New Asian African Strategic Partnership (NAASP) sebagai pengakuan pentingnya kerjasama regional dan inter-regional dalam mendorong Kerjasama Selatan-Selatan.


G20
Krisis ekonomi dan keuangan global yang terjadi pada tahun 2007 merupakan dampak dari sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional yang tidak berimbang terutama dalam hal regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Berawal dari krisis kredit perumahan (subprime mortgage crisis) di AS, lemahnya regulasi keuangan dan tingginya keterikatan sektor keuangan antar negara, khususnya produk derivatif keuangan, menyebabkan menjalarnya krisis negara maju ke negara berkembang lainnya. Efek domino krisis ekonomi tersebut turut menyeret sektor riil dan mengakibatkan terpuruknya perekonomian negara-negara di dunia.
Krisis ekonomi serupa pernah dialami kawasan Asia tahun 1997. Namun, krisis kali ini memiliki pengaruh yang lebih besar sehingga memerlukan penanganan yang lebih menyeluruh dan kerjasama negara-negara di dunia. Krisis ekonomi dan keuangan global telah menghambat proses pembangunan terutama negara Least Developed Countries serta telah menyebabkan kemunduran pencapaian MDGs.
Namun, seiring dengan diberlakukannya berbagai kebijakan untuk menyelamatkan perekonomian oleh pemerintah masing-masing negara, perekonomian global telah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan awal 2010, walaupun proses recovery diprediksi masih berjalan lambat mengingat sistem finansial yang masih lemah. Proses pemulihan juga tidak akan merata dirasakan per kawasan. Selain itu, terdapat kecenderungan di perekonomian negara maju bahwa perbaikan di sektor finansial kurang sejalan paralel dengan perbaikan di sektor riil dengan salah satu indikator utama yang memprihatinkan adalah semakin meningkatnya angka pengangguran.
Untuk mengatasi krisis tersebut, Pemerintah AS berinisiatif menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (G20 Summit) bagi para pemimpin/kepala negara G20 yang diadakan di Washington DC tanggal 15 November 2008. Krisis ekonomi global menyadarkan otoritas keuangan dan bank sentral berbagai negara bahwa integrasi sistem keuangan yang semakin erat membutuhkan adanya forum diskusi permanen yang intensif dalam rangka menciptakan stabilitas keuangan global melalui upaya pencegahan dan penyelesaian krisis keuangan internasional. Keanggotaan G20 terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Cina, India, Indonesia, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki.
Peran Indonesia dalam setiap KTT G20 senantiasa memajukan kepentingan negara berkembang dan menjaga terciptanya sistem perekonomian global yang inklusif dan berkelanjutan (antara lain: usulan pembentukan global expenditure support fund, menghindari pembahasan exit strategy paket stimulus fiskal yang dapat merugikan negara berkembang, dan mendorong tercapainya konsensus selaku bridge builder). Lebih lanjut peran tersebut antara lain:
a. Indonesia dapat mengedepankan pendekatan konstruktif dalam pembahasan isu di G20.
b. Semangat G20 yang mendorong equlity, trust building dan berorentasi solusi menjadikan forum G20 menjadi forum yang demokratis di mana semua negara mempunyai kesempatan untuk speaking on equal footing dengan negara manapun. Indonesia perlu terus menjaga karakteristik dasar G20 tersebut dari desakan dominasi ataupun pengerasan sikap/posisi dari negara-negara anggota G20.
c. Pergeseran posisi Indonesia dari negara low income countries menjadi negara middle income countries serta dari negara penerima bantuan menjadi negara penerima sekaligus negara donor, membutuhkan penyesuaian profile Indonesia di dunia luar. Untuk itu, peran aktif Indonesia di G20 menjadi penting karena G20 dapat dijadikan sebagai wadah untuk instrumen politik luar negeri RI mendukung upaya Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2025.
d. Mengingat Indonesia mempunyai cukup banyak success stories dalam program pembangunan, partisipasi Indonesia dalam G20 dapat digunakan untuk mengedepankan pengalaman Indonesia sebagai kontribusi global Indonesia dalam pembahasan forum G20. Pada KTT Pittsburgh, misalnya, Indonesia menjadi contoh sukses pengalihan subsidi BBM tidak langsung menjadi subsidi langsung (program BLT). Indonesia dapat bekerjasama dengan Bank Dunia dan OECD untuk mengangkat berbagai success stories Indonesia.
Selama berlangsungnya krisis ekonomi global, secara umum kawasan Asia menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Beberapa negara berkembang di kawasan ini bahkan tetap dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat moderat yang kemudian menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global. Untuk itu, Indonesia bersama-sama negara di kawasan Asia Pasifik, perlu terus mendorong peran penting kawasan dalam proses recovery dan pertumbuhan ekonomi global.