Wednesday 28 November 2012

PERJANJIAN INTERNASIONAL


 

I.       Dasar Pembuatan Perjanjian Internasional
 
Indonesia merupakan Negara yang memiliki sikap politik bebas aktif didalam menjalin hubungan internasional. Bebas dalam menentukan arah kebijakan Indonesia terhadap perkembangan politik dunia dan menentukan keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap suatu blok/organisasi internasional tertentu sesuai dengan kebijakan dalam negeri. Berperan aktif dalam seluruh kegiatan dunia internasional yang sesuai dengan kebijakan dalam negeri dalam rangka menjaga perdamaian dan ketertiban dunia serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dunia.
 
Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam perjanjian internasional. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat Negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen perundang-undangan yang jelas pula.
 
Dasar dari pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional yang berlandaskan dari Undang – Undang Dasar 1945. Tata cara tentang pembuatan perjanjian, pengesahan, pemberlakuan, penyimpanan, pengakhiran perjanjian serta ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam perjanjian internasional diatur di dalam undang-undang tersebut.
 
 
 
   II.    Pengertian Perjanjian Internasional
 
Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik (UU PI Pasal 1a). Dalam pembuatan perjanjian internasional ada beberapa istilah yang melekat didalamnya, antara lain:
 
a)      Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance)dan penyetujuan (approval) (pasal 1b).
 
b)      Surat kuasa (Full Power) adalah surat kuasa yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional (pasal 1c).
 
c)      Surat kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional (pasal 1d).
 
d)      Pensyaratan (Reservation) adalah pernyataan sepihak suatu Negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral (pasal 1e).
 
e)      Pernyataan (Declaration) adalah pernyataan sepihak suatu Negara tentang pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak dan kewajiban Negara dalam perjanjian internasional (pasal 1f).
 III.    Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional
 
Beberapa bentuk perjanjian internasional yang biasa dipakai dalam kerangka kerja sama multilateral dan bilateral, antara lain:
 
a)    Treaty
Bentuk perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang sangat penting yang mengikat Negara secara menyeluruh yang umumnya bersifat multilateral. Namun demikian, kebiasaan Negara-negara dimasa lampau cenderung menggunakan istilah treaty untuk perjanjian bilateral, untuk menunjukkan bobot penting.
 
b)    Convention
Bentuk perjanjian internasional yang umumnya digunakan dalam kerangka kerja sama multilateral yang melibatkan banyak pihak. Pada masa lalu perjanjian internasional ini umumnya digunakan untuk perjanjian bilateral. Keikutsertaan dalam convention biasanya terbuka untuk setiap komunitas internasional.
 
c)    Agreement
Merupakan bentuk perjanjian internasional dengan objek perjanjian diluar apa yang biasanya diperjanjikan dalam treaty atau convention. Umumnya dipakai dalam perjanjian bilateral, tetapi dalam praktek digunakan juga dalam konteks multilateral.
 
d)    Protocol
Biasanya digunakan dalam perjanjian yang tidak terlalu formal, tidak seperti treaty atau convention. Umumnya bersifat koreksi, tambahan atau penjelasan dari suatu perjanjian multilateral. Keikutsertaan biasanya terbuka bagi mereka yang menjadi pihak dalam perjanjian induk. Keuntungan protocol adalah karena berhubungan dengan perjanjian induknya maka dapat terfokus pada aspek tertentu secara lebih rinci.
 
e)    Memorandum of Understanding (MoU)
Bentuk perjanjian yang kurang mengikat dan formal, karena lebih mudah untuk dirubah, diakhiri dan lazimnya dipakai juga untuk menghindari ratifikasi (pengesahan). Negara-negara dengan common law system berpandangan bahwa MoU adalah non legally binding. MoU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari penggunaan agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Namun pada prakteknya dibeberapa Negara lain termasuk Indonesia, bahwa MoU memiliki daya mengikat seperti perjanjian internasional lain (treaty, agreement, etc.)
 
f)      Arrangement
Merupakan suatu perjanjian internasional yang digunakan sebagai pengaturan teknis – spesifik dibawah suatu "perjanjian payung".  
 
g)    Letter of Intent (LoI)
Perjanjian yang selalu digunakan dalam perjanjian yang tidak mengikat, yang berisikan komitmen yang tidak mengikat. Indonesia selalu menggunakan bentuk ini dalam perencanaan kerja sama sister city / sister province. Sebelum para pihak mengikatkan diri pada MoU pembentukan sister city / sister province, terlebih dahulu menuangkan komitmennya dalam bentuk Letter of Intent.
 
h)    Record of Discussion (RoD)
Bentuk perjanjian yang biasanya digunakan dalam perjanjian yang tidak formal dan tidak mengikat. Perjanjian ini digunakan untuk pengaturan kerja sama teknis.
 
i)      Agreed Minutes
Bentuk perjanjian yang dalam praktek pelaksanaannya hampir sama dengan Record of Discussion. Perjanjian ini merupakan catatan penting dalam suatu pertemuan international (umumnya pada pertemuan bilateral).
 
  1. IV.    Struktur Perjanjian
 
a)      Judul
b)      Preamble
c)      Isi
  1. Objective
  2. Area of Cooperation / Scope of Cooperation
  3. Executing Agency (if necessary)
  4. Implementing Arrangement
  5. GRTK / IPR (if any joint research on area of cooperation)
  6. Settlement of Dispute
  7. Amendment
  8. Final Provision
d)    Closing
 
  V.    Kriteria dalam Pembuatan Perjanjian
 
a)      Politis
Tidak bertentangan dengan Politik Luar Negeri dan kebijakan Hubungan Luar Negeri Pemerintah Pusat pada umumnya;
 
b)    Keamanan
Kerja sama luar negeri tidak digunakan atau disalahgunakan sebagai akses atau kedok bagi kegiatan asing (spionase) yang dapat menggangu atau mengancam stabilitas dan keamanan dalam negeri;
 
c)    Yuridis
Terdapat jaminan kepastian hukum yang secara maksimal dapat menutup celah-celah (loopholes) yang merugikan bagi pencapaian kerja sama;
 
d)    Teknis
Tidak bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian / Institusi Teknis terkait;
 
  1. VI.    Skema Pembuatan Perjanjian Internasional
 
a)      Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal) menjadi lembaga pemrakarsa dalam suatu pembuatan perjanjian internasional.
 
b)      Pasal 5 (1) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa lembaga pemrakarsa diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri, yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) dan/atau unit regional atau multilateral di Kementerian Luar Negeri;
 
c)      Mekanisme konsultasi dan koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui:
 
  1. Surat menyurat antara Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal), Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lain; dan
 
  1. Rapat inter Kementerian antara Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal), Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lainnya, apabila dalam perjanjian internasional tersebut terkait dengan instansi lain;
 
d)    Surat menyurat dan rapat inter Kementerian antara Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal), Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lainnya akan menghasilkan draft dan/atau counter draft perjanjian internasional dan pedoman Delegasi RI dapat berupa hasil-hasil keputusan rapat interkem;
 
e)    Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perumusan naskah, penerimaan/pemarafan, dan penandatangan.
 
  1. Tahap Penjajakan
 
Kementerian Pertanian (Pusat Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal) dapat sebagai inisiator untuk mengusulkan pembuatan perjanjian internasional ke Negara mitra atau sebaliknya sebagai yang menerima usulan pembuatan perjanjian internasional. Baik sebagai pihak yang mengusulkan atau menerima usulan saling menjajaki pembuatan perjanjian internasional sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing pihak;
 
 
 
  1. Tahap Perumusan Naskah
 
Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) mengkoordinasikan penyusunan konsep perjanjian internasional berdasarkan masukan dari unit eselon I. Apabila naskah perjanjian internasional tersebut melibatkan Kementerian lain atau lembaga pemerintah lainnya, maka dapat dilakukan koordinasi inter kementerian melalui surat menyurat atau mengadakan rapat inter kementerian;
 
Setelah naskah perjanjian internasional dirumuskan dalam bentuk draft/counter draft, kemudian dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan Kementerian Luar Negeri melalui Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) dan/atau unit regional atau multilateral di Kementerian Luar Negeri untuk diminta tanggapan/masukan dan/atau disampaikan ke counterpart melalui KBRI di Negara counterpart. Pada tahapan ini pihak Indonesia dan pihak counterpart menyusun draft dan counter draft perjanjian internasional;
 
  1. Tahap Penerimaan / Pemarafan
 
Hasil akhir dari penyusunan draft dan counter draft ini adalah suatu draft final perjanjian internasional yang jika diperlukan, diparaf oleh para pihak sebelum ditandatangani;
 
  1. Tahap Penandatangan
 
4.1.     Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik Departemen maupun non Departemen dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa (pasal 7 ayat 5);
 
 
4.2.     Seseorang yang mewakili Pemerintah Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional memerlukan Full Powers (pasal 7 ayat 1);
 
4.3.     Pada perundingan multilateral, dalam "Rules of Procedures"  mensyaratkan adanya Surat Kepercayaan / Credentials (pasal 7 ayat 1) bagi delegasi yang menghadiri perundingan tersebut, maka instansi pemrakarsa mengajukan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menerbitkan Surat Kepercayaan dengan melampirkan nama, jabatan, dan kedudukan pejabat dalam susunan pejabat tersebut. Hal ini mutlak diperlukan untuk menunjukkan bahwa pejabat tersebut merupakan wakil yang ditunjuk secara sah oleh Pemerintah Republik Indonesia;
 
4.4.     Sekretariat Jenderal (Pusat Kerjasama Luar Negeri) berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dalam penyiapan (Full Powers) untuk penandatangan perjanjian internasional;
 
4.5.     Bila secara substansi (draft final PI) dan prosedural (Full Powers) telah selesai, maka perjanjian internasional tersebut dapat ditandatangani oleh kedua belah pihak;
 
4.6.     Perjanjian internasional berlaku setelah dilakukan penandatanganan, atau perjanjian internasional tersebut berlaku setelah pertukaran Nota Diplomatik (Pasal 15 ayat 1);
 
4.7.     Ratifikasi perjanjian internasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut (pasal 9 ayat 1) dan dilakukan dengan Undang – Undang atau keputusan Presiden (Pasal 9 ayat 2);
 
 
4.8.     Syarat – syarat Ratifikasi Perjanjian Internasional (sesuai Pasal 12) adalah:
 
  1. Lembaga pemrakarsa diharuskan untuk menyiapkan Salinan Naskah Perjanjian sebanyak 45 buah, Salinan Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (hanya bila PI tersebut tidak dinyatakan dalam Bahasa Indonesia) sebanyak 45 buah, 1 buah Rancangan UU atau Rancangan Perpres tentang pengesahan dan 1 buah Naskah Akademis (untuk PI yang diratifikasi oleh UU) atau Naskah Penjelasan (untuk PI yang diratifikasi oleh Perpres);
 
  1. Lembaga pemrakarsa mengkoordinasi pembahasan Rancangan Undang – Undang / Perpres dengan instansi terkait;
 
  1. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri Luar Negeri kepada Presiden;
 
4.9.    Suatu perjanjian internasional harus diratifikasi dengan UU bila (Pasal 11 UUD 1945 jo. Pasal 10 UU PI) : menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Undang – undang apabila berkenan dengan:
-       Politik, Hankam Negara;
-       Perubahan wilayah atau Penetapan Batas Wilayah;
-       Kedaulatan dan Hak Berdaulat;
-       HAM dan Lingkungan Hidup;
-       Pembentukan kaidah hukum baru;
-       Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
 
Pemerintah dan DPR dapat membahas RUU pengesahan perjanjian Internasional tersebut dengan melalui prolegnas maupun non – prolegnas (sesuai dengan pengaturan pada UU No. 10 Tahun 2004, Perpres No. 61 Tahun 2005 dan Perpres No. 68 Tahun 2005);
4.10. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU PI dilakukan dengan Peraturan Presiden, antara lain: perjanjian di bidang IPTEK, Ekonomi, Teknik, Perdagangan, Kebudayaan, Pelayanan Niaga, Penghindaran Pajak Berganda, Perlindungan Penanaman Modal dan Perjanjian bersifat Teknis (Penjelasan Pasal 11 ayat 1);
 
4.11. Ratifikasi dilaksanakan baik melalui UU maupun Perpres; setelah diratifikasi, Kemlu cq. Direktorat Perjanjian Ekososbud akan melakukan notifikasi / pemberitahuan kepada pihak counterpart (untuk perjanjian bilateral) atau menyampaikan Instrument of Ratification / Accession kepada lembaga depository (untuk perjanjian multilateral) bahwa pemerintah Indonesia telah menyelesaikan prosdur internalnya bagi berlakunya perjanjian internasional tersebut;
 
  1. Tahap Penyimpanan Naskah Perjanjian
 
Perjanjian Internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pasal 17 UU Perjanjian Internasional harus disimpan di TREATY ROOM pada Direktorat Perjanjian Ekososbud Kementerian Luar Negeri. Salinan Naskah Resmi perjanjian akan didaftarkan pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB.
 
DARI BERBAGAI SUMBER

Dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH
Head of Bilateral Cooperation
Center for International Cooperation (CIC)
Secretary General
Ministry of Health Republic of Indonesia