Upaya pelayanan jasa kesehatan memang agak unik dibanding organisasi lain yang bergerak dalam bisnis, karena ada perbedaan dalam tujuan, jenis kegiatan, orientasi yang bersifat pelayanan masyarakat. Salah satu organisasi kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan adalah rumah sakit.
Rumah sakit merupakan unit pelayanan kesehatan yang mempunyai tugas menyelenggarakan kesehatan melalui upaya penyembuhan (kuratif),pemulihan keadaan (rehabilitatif), pencegahan penyakit (preventif) dan pembinaan kesehatan (promotif). Penyelenggaraan rumah sakit seharusnya bersifat non profit (atau profit dengan tidak melupakan unsur sosial), bersifat keagamaan, atau ada hubungannya dengan riwayat masa lampau, kedekatannya dengan kelompok profesi (terutama kesehatan), jumlah profesi dan pegawai yang banyak serta sangat memperhatikan aspek emosional dan psikologis. Dengan kata lain, pelayanan jasa kesehatan adalah suatu usaha sosial yang berdimensi ekonomi dan bukan usaha ekonomi yang berdimensi sosial. Di rumah sakit, masalah etik juga sangat mewarnai kegiatan pelayanan jasa kesehatan, misalnya dalam pelayanan yang menggunakan alat kedokteran canggih, prosedur tindakan pelayanan medis, teknik atau cara memasarkan jasa pelayanan dan lain sebagainya.
Dirumah sakit terdapat banyak sekali proses yang berlangsung seperti perawatan pasien, penggunaan teknologi maju, manajerial, pendidikan, arus informasi, publikasi ilmiah, penelitian dan lain sebagainya. Fitzsimmons (1994) mengatakan bahwa di rumah sakit terdapat pelayanan yang kompleks yang meliputi pelayanan seperti hotel, pelayanan praktek dokter, perawatan jasa boga makanan, pelayanan psikologi sosial dan lain sebagainya. Karena multikompleks seperti ini, maka sebenarnya akan lebih menguntungkan apabila sebuah rumah sakit lebih memfokuskan upayanya pada suatu proses ketimbang hanya pada hasil atau keluaran. Sebagai sebuah organisasi yang terfokus pada proses, sangatlah masuk akal bila setiap individu yang berada didalamnya dapat mengetahui perannya masing-masing serta mengerti bahwa pekerjaannya akan mempengaruhi dan dipengaruhi pihak-pihak lain. Dengan mengetahui adanya saling ketergantungan antar individu, maka akan tercipta suatu suasana saling mengerti dan saling menghargai terhadap pekerjaannya masing-masing.
Bentuk keluaran dari rumah sakit adalah jasa,walaupun jasa rumah sakit dalam prosesnya, juga hampir selalu memerlukan barang atau produk. Jasa menurut Kotler (1994) pada dasarnya merupakan sesuatu yang tidak berwujud, yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Sangat wajar, dalam melaksanakan berbagai kegiatannya, rumah sakit sebagai institusi yang memberikan pelayanan jasa medis, mempunyai harapan agar kelompok profesional medis yang ada di rumah sakit mempunyai perilaku yang profesional, menginginkan agar kelompok profesional tersebut dapat memberikan produk jasa yang berkualitas, mengharapkan agar institusi terkait selalu dapat menggali dan menerapkan model baru dari majanemen mutu, sehingga tujuan untuk dapat memuaskan konsumen (pasien dan keluarganya) dapat terwujud. Quality health care means “doing the right thing at the right time, in the right way for the right people- and having the best possible results” (the Agency for Healthcare Reserch and Quality,2008). Dengan kata lain, seharusnya rumah sakit beserta jajarannya selalu mengutamakan pelayanan yang bermutu, salah satunya adalah dengan cara meningkatkan mutu pelayanan medik, karena mutu pelayanan medik merupakan indikator penting, terhadap baik buruknya pelayanan di rumah sakit.
Oleh karena itu, sangatlah mengagetkan ketika pada tahun 1999, Institute of Medicine (IOM) di Amerika melaporkan bahwa setiap tahunnya dari 33,6 juta pasien rawat inap diseluruh Amerika, terdapat sekitar 44.000-98.000 kematian akibat akibat tidak dilakukannya upaya patient safety. Fakta ini yang kemudian mengembangkan, kerjasama antara Departemen Kesehatan Amerika yang bekerjasama dengan the American Hospital Association dan the American Medical Association untuk melakukan upaya pemberian pelayanan yang aman untuk pasien (patient safety). Pada akhirnya sekarang, patient safety merupakan kegiatan yang harus dilakukan dengan penekanan pada pelaporan, analisis dan pencegahan terjadinya kesalahan medis (medical error) dan adverse health care events. Sampai tahun sembilan puluhan, frekuensi dan besarnya kejadian adverse events yang sebenarnya tidak dapat diketahui, sampai laporan yang mengejutkan datang dari beberapa negara tentang sejumlah kecelakaan dan kematian setiap tahunnya. Tampak sekali bahwa masalah upaya mutu sangat terkait dengan keselamatan (safety) dan upaya pencegahan terjadinya medical error.
Sebagai catatan, medical error adalah suatu kesalahan dalam proses pelayanan yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien. Kesalahan disini termasuk kegagalan melaksanakan sepenuhnya suatu rencana (tidak lengkap) atau bahkan menggunakan rencana yang salah. Kesalahan ini dapat terjadi akibat berbuat sesuatu (commission) atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan (ommission). Adverse events merupakan kejadian yang tidak diharapkan, tapi terjadi pada pasien, dan kejadian ini bukan karena kondisi atau penyakit pasiennya sendiri. Adverse events dapat terjadi karena kesalahan atau bukan kesalahan medis. Istilah lain yang sering dipergunakan adalah near miss . Near miss merupakan suatu kesalahan medis karena berbuat atau tidak berbuat, berpotensi menimbulkan cedera tetapi tidak terjadi.
Sebenarnya masalah patient adverse events sudah diteliti pada tahun 1950-1960, tetapi tidak mendapat perhatian.Namun setelah keluarnya laporan dari To Err is Human, maka pengembangan konsep keselamatan pasien cepat berakselerasi. Puncaknya terjadi ketika WHO pada bulan Oktober 2004, meluncurkan the World Alliance for Patient Safety in response to a world health. Aliansi ini dibuat untuk meningkatkan kewaspadaan dan komitmen politik dalam memperbaiki upaya pelayanan yang aman serta memfasilitasi pengembangan kebijakan dan pelaksanaan patient safety pada semua anggota WHO. Setiap tahunnya, aliansi ini menyelenggarakan program-program yang mencakup aspek sistem dan teknik untuk memperbaiki patient safety diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri data pasti tentang medical error ini belum ada. Yang jelas beberapa kasus dan tuntutan malpraktek mencuat yang diduga akibat kesalahan medis seperti tertinggalnya kasa dalam perut setelah operasi, kesalahan pemberian obat, kecacatan bahkan kematian. Mungkin kasus-kasus tersebut lebih banyak lagi, tetapi tidak dipublikasikan karena tidak tercium oleh media massa.
Sebenarnya setiap tindakan medik atau pelayanan medik yang diberikan kepada manusia selalu berisiko, dan risiko ini sering tidak bisa diduga sebelumnya. Risiko ini bisa saja menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan pasien dan atau keluarganya, (baik secara fisik, finansial maupun sosial), akibat tidak tepatnya proses diagnosis, terapi, pembedahan, pemberian obat, pemeriksaan laboratorium. Salah satu penyebab lemahnya data medical error di Indonesia adalah belum berjalannya atau tidak berjalan dengan baik proses audit medis di rumah sakit, sehingga rumah sakit tidak mempunyai data tentang jumlah yang pasti dari medical error yang terjadi. Sejalan dengan diperlukannya good clinical governace maka rumah sakit diharapkan dapat dan mampu melaksanakan audit medis secara berkala dan berkesinambungan.
Audit medis menurut Depkes (1994) adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada penderita dengan memanfaatkan rekam medik. Audit medis menurut WHO adalah a retrospective of the quality of medical care as reflected in medical record and matced againts pre-set standard.
Pengertian audit medis secara umum adalah meliputi review, assessment dan surveillance. Namun karena pembahasan kasus di rumah sakit merupakan upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien, maka pembahasan kasus ini merupakan bentuk audit medis yang sederhana atau tingkat awal. Oleh karena itu, audit medis dapat dikatakan suatu analisa dan evaluasi sistematik dari kualitas pelayanan medis di suatu rumah sakit, termasuk penggunaan sumber daya yang ada, prosedur yang digunakan untuk membuat diagnosa dan terapi serta tercapainya kualitas hidup yang optimal dari setiap pasien pasca pengobatan. Audit medis biasanya dilakukan di rumah sakit yang sangat menyadari pentingnya mutu pelayanan medik bagi pasien dan rumah sakit itu sendiri. Walaupun begitu dalam kenyataannya, pelaksanaan audit medis itu masih dalam arti sempit dalam bentuk sederhana seperti laporan kasus, laporan kematian dan laporan otopsi.
Sangat wajar, untuk dapat melaksanakan kegiatan patient safety di rumah sakit, rumah sakit sebagai institusi yang memberikan pelayanan jasa medis, sangat mengharapkan agar kelompok profesional medis yang ada di rumah sakit (khususnya dokter) mempunyai perilaku yang profesional, serta mengharapkan agar kelompok profesional tersebut dapat memberikan produk jasa yang berkualitas, harapan agar institusi terkait selalu dapat menggali dan menerapkan model baru dari majanemen mutu. Seharusnya dokter sebagai kelompok profesional dalam melakukan pekerjaannya selalu mengutamakan mutu, sehingga tujuan untuk dapat memuaskan konsumen (pasien dan keluarganya) dapat terwujud dan dapat menghindari terjadinya medical error dan atau adverse events.
Jelas sekali bahwa dokter sebagai individu dan anggota organisasi kedokteran adalah termasuk kelompok profesional. Kelompok profesional medis ini (dokter), tidak akan terlepas dari kode etik kedokteran yang sudah ditetapkan oleh organisasinya. Dokter mempunyai Hak dan Kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam bukunya, Djamhoer Martaadisoe-brata (dikutip dari Sukarya,2008), mengatakan bahwa seorang profesional harus memenuhi tiga ciri penting yaitu memiliki ilmu dan teknologi kedokteran yang cukup, mempunyai keterampilan klinik yang baik dan mempunyai niat, sikap serta perilaku yang etis.
Undang-Undang Praktik Kedokteran no. 29 tahun 2004,pasal (51) menentukan bahwa salah satu kewajiban seorang dokter/dokter gigi adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan pasien. Yang dimaksud dengan standar profesi adalah batasan kemampuan (knowledge,skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi atau langkah-langkah baku untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
Seperti yang disampaikan diatas, seorang dokter dalam menjalankan tugas profesinya diikat oleh Kode Etik Profesi. Etika merupakan ilmu tentang asas-asas akhlak dan moral. Dalam menjalankan pelaksanaan profesinya, etik merupakan nilai-nilai “benar-salah” yang dianut dan mengikat kelompok profesi tersebut berdasarkan moral dan konsensus diantara para anggota kelompok profesi. Etika sendiri memang merupakan bagian dari falsafah, disamping estetika dan logika. Tetapi bila sudah dituangkan kedalam suatu kode, maka akan mengikat seperti halnya suatu undang-undang atau peraturan, yang jika dilanggar atau tidak dipatuhi, maka kelompok ikatan profesi tersebut yang berwenang untuk mengambil tindakan. Walaupun begitu, dalam melaksanakan profesi kedokteran, bisa saja timbul sebuah konflik. Konflik hukum akan terjadi bila hak salah satu pihak tidak dapat dipenuhi atau kewajiban salah satu pihak tidak dilaksanakan, sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan misalnya dengan cara memahami kode etik kedokteran, mengidentifikasi hak dan kewajiban seorang pasien dan atau seorang petugas kesehatan (dokter), serta memahami perundang – undangan yang berlaku.
Dalam mengambil suatu keputusan tindakan medik, Jonsen dkk (dikutip dari Sukarya WS), mengatakan bahwa dokter tersebut harus berpedoman kepada etika klinis (clinical ethic), yaitu suatu disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur dalam membantu dokter mengambil keputusan dengan mengidentifikasi, menganalisis dan memecahkan isu etik kedokteran klinis. Jonsen dkk, mengatakan bahwa dalam pelaksanaan etika klinis, ada empat topik terkait yaitu :
1. Seorang dokter melakukan suatu tindakan harus berdasar indikasi medis. Disini seorang dokter dituntut untuk mampu melakukan penilaian klinis yang mencakup diagnosis dan intervensi, sebagai hasil pendidikan, pengalaman dan sikap profesionalnya.
2. Preferensi atau pilihan pasien adalah sikap pasien terhadap anjuran dokternya, berupa persetujuan atau penolakan.
3. Seorang dokter perlu menentukan masalah Quality of life setelah suatu tindakan medik. Jangan sampai setelah suatu tindakan medik, seorang pasien malahan menjadi sakit atau terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki.
4. Seorang dokter harus memperhatikan faktor eksternal yang ada kaitannya dengan pengobatan dan perawatan pasien, seperti keluarga, sosekbud dan hukum.